Lentera Pemandu Arwah dan Peranti Malam Pertama

By , Senin, 21 Juli 2014 | 19:00 WIB
()

Bagi masyarakat keturunan Cina di Indonesia, lampion merah menjadi ikon yang sering menjadi hiasan pada pelbagai perayaan religi dan tradisi. Lampion bulat sering ditemukan menghiasi rumah, pertokoan, bahkan banyak tergantung di dalam klenteng yang tersebar di seluruh Nusantara. Apakah lampion merah sebatas sebagai penghias atau pelengkap elemen interior dan eksterior? Ataukah ia memiliki peran tertentu? Lampion (deng 灯) merupakan warisan budaya Cina sejak ribuan tahun silam. Di negeri asalnya bentuk lentera atau lampion bermacam-macam, bulat, kotak, jajaran genjang. Ia dapat digantung di atap, tiang gantungan, gagang pendek, atau diletakkan di atas meja. Namun yang sering dijumpai di Indonesia adalah lampion berbentuk bola bundar yang terbuat dari kertas berwarna merah dengan rangkat kawat atau bambu. Dalam tradisi budaya Cina, lampion mempunyai hari perayaannya sendiri. Perayaan lampion yang terbesar adalah Festival Lampion (deng jie 灯节) yang dirayakan setiap tanggal 15 bulan pertama perayaan Imlek. Lampion-lampion digantung dan diarak keliling kota dengan diiringi letusan kembang api yang menambah keriaan suasana. Perayaan itu telah dilaksanakan sejak masa Dinasti Han (206 SM-220M), artinya lampion telah digunakan sebagai bagian dari perayaan tradisional di Cina sejak 2000-an tahun silam. Pada awalnya, perayaan lampion bukan untuk perayaan tahun baru, melainkan sebagai pemujaan kepada ‘Penyebab Utama Kejadian’ yang dikenal dengan ‘Awal Terjadinya Alam Semesta’ (yuan shi tian zun 元始天尊). Selain itu, lentera pada masa perayaan lampion pun lebih sering dihiasi oleh beragam motif dan karakter Han sebagai bentuk harapan dan doa bagi para penulisnya. Bahan pembuatan lampion pun tak hanya berupa kertas merah, namun dapat dibuat dari bahan lainnya, seperti kain, bambu, bahkan kain sutera dengan bermacam-macam warna dan bentuk. Perayaan lentera selanjutnya dilaksanakan setiap tanggal 7 bulan 7 penanggalan Imlek (sekitar bulan Agustus/September). Lentera ini ibarat harapan cahaya agar pada tanggal 15 bulan 7, arwah orang-orang yang pada saat meninggalnya jauh dari keluarga, akan dapat kembali ke bumi dipandu oleh cahaya lampion. Pada perayaan itu juga dibuatkan sesaji untuk arwah-arwah yang kelaparan. Kemudian tepat saat bulan purnama, maka arwah-arwah akan dituntun kembali ke alam arwah oleh cahaya lentera yang telah dinyalakan 7 hari lamanya. Di Indonesia, masyarakat keturunan Cina banyak menggunakan lampion terutama pada saat dimulainya perayaan Imlek, tak hanya sebagai pemanis ruangan atau dekorasi semata, tetapi juga lampion digunakan sebagai simbol harapan untuk tahun baru yang menyenangkan, membawa kebahagiaan, serta kesuksesan.

Lampion sebagai penghias ruangan, Para sinolog muda tengah berkunjung ke Museum Benteng Heritage, di Pasar Lama, Tangerang. Sementara banyak bangunan bersejarah di kawasan ini menghilang, bangunan museum milik Udaya Halim ini menjadi penanda peradaban Cina Benteng yang berhasil melawan gerusan zaman. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Begitu pula, lampion yang digantungkan di klenteng oleh perorangan atau keluarga pada hari ulang tahun dewa-dewi yang dipercayai oleh keluarganya. Mereka menyediakan sesaji berupa daging, ikan, dan sayuran untuk dewa-dewi yang mereka puja. Mereka juga menuliskan nama anggota keluarga pada lampion tersebut sebagai simbol harapan dan doa—kebahagiaan, kekayaan, kesuksesan, kesembuhan dari penyakit, dan diberkati anak (terutama anak laki-laki). Demikianlah, lampion memiliki fungsi penting dalam kegiatan religius masyarakat Cina. Lentera atau lampion ternyata tak hanya memiliki fungsi religius saja. Rupanya lampion juga memiliki fungsi sosial. Lentera atau lampion bagi masyarakat Cina juga menjadi simbol kesuburan dan harapan agar diberkahi banyak anak, terutama anak laki-laki. Pada malam pertama pasangan pengantin baru, lentera merupakan barang wajib yang harus dinyalakan sepanjang malam bersama lilin sebagai simbol kesuburan, agar pasangan pengantin dianugerahi banyak anak. Dalam film Raise the Red Lantern—karya Zhang Yimou dan dibintangi oleh Gongli, 1991—lampion yang menyala di salah satu kediaman selir menandakan bahwa suami sedang bermalam bersama selirnya. Pada masa sekarang, keberadaan lentera dan lilin di kamar pengantin masih dapat dijumpai di pelbagai kawasan di Indonesia.

Lampion sebagai warisan tradisi Cina ternyata memiliki banyak makna. Sama seperti damar, pelita, dan pelbagai alat penerangan dalam tradisi budaya di Nusantara. Cahaya dan api merupakan sumber energi bagi manusia dan peradaban sebuah bangsa. (Agni Malagina, Sinolog dari Universitas Indonesia)