Seniman Difabel Indonesia di Festival Edinburgh

By , Rabu, 23 Juli 2014 | 20:30 WIB

Dengan tema wanita, disabilitas, dan Nusantara, seorang seniman asal Indonesia, Khairani Barokka, akan tampil di Edinburgh Fringe, yang sering disebut sebagai festival seni terbesar di dunia.

Sepekan sebelum tampil di Edinburgh, Khairani Barokka yang kerap dipanggil Okka, tampil di South Kilburn Studio di London utara, menampilkan karya terbarunya berjudul Eve and Mary are Having Coffee dengan tubuh berlumuran cat hijau. Karya itu yang akan dia tampilkan di Edinburgh Fringe selama lima hari, mulai dari 4-8 Agustus 2014.

Bagi Okka, kesempatan untuk tampil solo di Edinburgh Fringe merupakan sebuah pencapaian tersendiri. "Sebagai perempuan Indonesia yang bisa tampil di festival seni terbesar di dunia, kesempatan ini merupakan sebuah hal yang membanggakan," jelasnya.

Festival seni ini sudah berlangsung sejak 1947 dan tahun ini akan diadakan tanggal 1 hingga 25 Agustus 2014 dengan hampir 50 .000 penampilan seni yang tersebar di 299 titik di kota Edinburgh.

Karya Eve and Mary are Having Coffee diracik dari kumpulan syair yang Okka tulis dalam kurun waktu yang terpisah.

Bicara tentang banyak hal yang dianggap oleh orang banyak asing dan tabu untuk didiskusikan, Eve and Mary mengurai irisan panjang yang mengangkat identitasnya sebagai bagian dari Nusantara, juga memantik argumentasi mengenai gender, disabilitas dan perempuan muslim Indonesia.

"Keberagaman yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia jadi kemewahan tersendiri untuk saya. Berbagai elemen agama dan rona bangsa bisa digabung dengan budaya pop, isu feminisme, difabel berbuah jadi sebuah komposisi yang sangat kaya," ujarnya.

Kombinasi tersebut terbukti ampuh, dan mendulang diskusi panjang antara penonton dan Okka usai penampilannya malam itu di South Kilburn Studios.

“Saya sangat senang ketika saya berhasil memancing rasa penasaran orang-orang terhadap Indonesia melalui karya saya,” imbuhnya.

Menderita kelainan otot syaraf di beberapa bagian tubuhnya, disabilitas yang dimiliki Okka tidak dipandang sebagai sebuah keterbatasan, namun malah memberikan kelenturan dan dimensi tersendiri ke dalam karyanya.

“Saya ingin menegaskan kepada orang banyak, jangan melihat keterbatasan sebagai halangan untuk berekspresi,” sambungnya optimis.

Berkomentar lebih dalam mengenai hal tersebut, Okka juga menganggap masyarakat dengan disabilitas di Indonesia belum diperlakukan dengan layak oleh negara.

“Masih banyak mispersepsi mengenai definisi disabilitas, dan belum ada infrastruktur yang mumpuni untuk mengakomodir masyarakat dengan disabilitas. Pemerintah harusnya lebih serius memfasilitasi kebutuhan ini,” jelasnya.

Di sisi lain, Okka juga menilai kegiatan berkesenian harusnya bisa jadi cara yang efektif untuk bersuara dan menjembatani aspirasi kaum difabel dalam konsep yang lebih bersahabat.