Sadarkah Anda, bahwa di antara sampah rumah tangga yang kita hasilkan, terselip juga sampah elektronik?
Rumah tangga kita bukan satu-satunya. Di dunia diperkirakan ada sekitar 20 – 50 juga ton sampah elektronik per tahun. Amerika Serikat menjadi penghasil sampah terbanyak yakni 3 juta ton.
Coba kita hitung, berapa banyak peralatan elektronik yang sudah tidak terpakai lagi tapi masih tersimpan di rumah. Mungkin berupa radio, kipas angin, kalkulator, pemutar DVD, televisi, komputer, pemutar MP3, atau bahkan ponsel lama yang sudah tidak layak pakai. Semua itu tersimpan atau terselip di antara barang-barang lain yang masih kita pakai sehari-hari.
Sama seperti sampah biasa, mengelola sampah elektronik harus diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan. Karena beberapa komponen barang elektronik bekas mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Contohnya circuit board komputer yang mengandung beberapa macam logam berat seperti timah, krom, besi, timbal, perak, dan tembaga.
Begitu pun CRT, komponen yang ada dalam televisi dan monitor komputer bekas, mengandung logam berbahaya seperti timah, kadmium, dan merkuri. Jika tak ditangani dengan benar, limbah B3 ini bisa menjadi polutan yang berbahaya bagi air, tanah, udara, dan kesehatan orang-orang yang bekerja atau tinggal di sekitar sampah elektronik itu.
United Nations Environment Programme (UNEP) meramalkan pada 2020 nanti, sampah elektronik di Afrika Selatan dan Tiongkok jumlahnya akan melonjak hingga 200 sampai 400 persen dibandingkan tahun 2007. Bahkan UNEP meramalkan kenaikan jumlah sampah elektronik di India bisa mencapai 500 persen tahun 2020 nanti.
Sebagian sampah elektronik yang diproduksi negara-negara maju termasuk Amerika Serikat ada yang diekspor sebagai komoditas ke negara-negara berkembang seperti Tiongkok, Malaysia, India, Kenya, juga Indonesia.
Batam adalah salah satu lokasi utama penjualan limbah atau barang elektronik bekas di Indonesia terutama untuk produk telepon selular dan laptop bekas. Barang elektronik rusak juga ada yang diekspor untuk diambil komponennya yang masih berfungsi baik dan bisa dijadikan bahan baku atau suku cadang.
Di Indonesia sendiri, sudah ada UU Nomor 18/2008 pasal 15 dan pasal 23 yang mengatur tentang pengelolaan sampah elektronik dan sejenisnya. Namun pelaksanaan belum terlihat berjalan. Untuk memperlambat peningkatan jumlah sampah elektronik —paling tidak di Indonesia— mungkin ada baiknya kalau kita tak perlu sering berganti-ganti baik ponsel, komputer, maupun barang elektronik lain.
Produsen ponsel saat ini hampir selalu mengeluarkan model ponsel baru setiap caturwulan, dengan teknologi baru. Perkembangan serupa juga terjadi pada komputer, konsol game video, bahkan televisi. Selain menjual rongsokan elektronik ke tukang loak, kita tak punya pilihan lain selain membuangnya ke tempat sampah.