Anak Religius Kesulitan Membedakan Fakta dengan Fiksi?

By , Jumat, 25 Juli 2014 | 16:32 WIB

Paparan terhadap ajaran agama berpengaruh dalam kemampuan anak dalam membedakan fakta dan fiksi. Hal itu terungkap dalam sebuah riset, yang menyimpulkan anak religius cenderung kesulitan membedakan antara fakta dengan fiksi.

Publikasi riset di jurnal Science Cognitive mengatakan, anak-anak yang aktif dalam kegiatan keagamaan, misalnya di gereja, terlampau mafhum terhadap karakter dalam cerita kitab suci ataupun fantasi.

Kathleen H Corriveau, dari School of Education di Boston University, dan rekannya melakukan penelitian dengan melibatkan sejumlah anak berusia 5-6 tahun.

Anak-anak dibagi dalam 4 kelompok, yakni yang belajar di sekolah umum dan ke gereja, di sekolah umum tetapi tidak ke gereja, di sekolah agama dan ke gereja, serta di sekolah agama tetapi tidak ke gereja.

Semua anak diperkenalkan pada tiga jenis cerita, yaitu cerita kitab suci, cerita fantasi (penuh keajaiban), serta cerita yang realistis (unsur ilahi dan keajaiban dihilangkan).

Selanjutnya, semua anak diminta untuk menilai karakter protagonis dalam cerita, apakah nyata atau fiksi. Semua anak menyatakan bahwa karakter protagonis nyata dalam cerita realistis. Ini tidak mengejutkan.

Namun, ketika dihadapkan pada cerita kitab suci, penilaian masing-masing anak berbeda. Anak yang belajar agama lebih banyak menilai bahwa karakter protagonis dalam cerita itu nyata, sementara anak yang sekuler menilai fiksi.

Demikian pula ketika anak dihadapkan pada cerita fantasi. Anak yang kurang terpapar ajaran agama menilai bahwa tokoh protagonis beserta keajaiban dalam cerita itu fiksi.

Diberitakan situs IFLScience.com, Jumat (25/7/), Corriveau menilai bahwa agama membuat anak sulit membedakan antara fiksi dengan fakta atau kenyataan. 

Peneliti mengakui faktor-faktor lain yang memengaruhi penilaian anak belum diperhitungkan dalam risetnya. Namun, ia beranggapan bahwa faktor agama memang berperan penting.