Dalam bulan Ramadan terdapat satu malam yang bernilai lebih daripada seribu bulan. Malam penuh kemuliaan yang disebut Lailatul Qadar.Pada malam itu, para malaikat, dipimpin malaikat Jibril, atas izin Allah SWT turun ke Bumi: mengatur segala urusan, menebar kesejahteraan, dan keselamatan hingga terbit fajar.
Malam istimewa tersebut diperkirakan muncul pada sepuluh hari terakhir Ramadan, antara tanggal 20-30 Ramadan. Pada saat itu, umat Islam dianjurkan untuk melakukan itikaf: tinggal di masjid, khusus untuk melakukan ibadah.
Suatu ibadah untuk meningkatkan hubungan vertikal melalui berbagai kegiatan ritual, seperti shalat, berdoa, membaca Al Quran, yang bersifat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Meski demikian, tetap memelihara hubungan horizontal dengan sesama manusia. Misalnya, melakukan shalat berjamaah, menengok orang sakit, melayat jenazah, serta memberikan santunan uang atau makanan kepada yang membutuhkan.
Iktikaf selama masa Lailatul Qadar berfungsi sebagai koreksi internal diri masing-masing (al muhasabah), sekaligus koreksi eksternal (al muamalah). Membersihkan jiwa dari berbagai perbuatan rendah dan kasar, kemudian mengisinya dengan segala perbuatan penuh keutamaan, serta berkonsentrasi penuh mengingat Allah SWT.
Dari kegiatan spritual amat individual itulah kelak terpancar daya nalar dan kehendak untuk mengaplikasikannya dalam kenyataan. Berbekal watak keutamaan yang terbentuk selama itikaf, semangat sosial menjadi bertambah. Iktikaf menyambut Lailatul Qadar bukan lagi merupakan kenikmatan tersendiri bagi diri pribadi yang amat personal, melainkan kenikmatan bersama yang universal.
Menurut Az-Zuhri, salah seorang ulama abad ke-14, Ramadan mengandung dua kegiatan pokok. Kegiatan membaca Al Quran, sebagai bagian dari menegakkan ibadah malam (qiyamul lail), dan memberi makan fakir miskin (it’amuth tha’am).
Secara fisik, itikaf menyambut Lailatul Qadar adalah mengasingkan diri dari kehidupan sehari-hari yang serba materi. Sebuah kondisi kontras di tengah kecenderungan konsumtif menggebu-gebu menjelang hari raya.
Itulah risiko dari penjabaran makna puasa yang bukan hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat di siang hari. Puasa juga pembenahan otak dan hati dari ketimpangan mental akibat situasi sosial, ekonomi, politik, dan segala rutinitas realitas sehari-hari.
Itikaf dan Lailatul Qadar membenamkan seluruh gemuruh hawa nafsu ke kebeningan kepasrahan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sebuah penempaan rohaniah yang akan menghasilkan spirit simpati, solidaritas, dan apresiasi terhadap keberagaman hidup manusia sekitar. Semakin menumbuhkan cinta kepada fakir miskin, semakin memperbesar pengertian dan pemahaman terhadap segala hal-hal yang berbeda, baik titik tolak maupun aplikasi.
Manusia yang berhasil menyelami hakikat Lailatul Qadar adalah penabur salam (keselamatan), penebar kemurahan berbagi rezeki dan kebutuhan (anith tha’am), serta pembuhul kekuatan jalinan persaudaraan yang universal (wasilatul arham).
Salam, kemurahan, dan silaturahim tanpa batas agama, kepercayaan, ideologi, serta strata sosial, itulah yang dibawa Jibril dan ribuan malaikat yang turun ke Bumi pada saat Lailatul Qadar, mulai dari gelap malam hingga merekah fajar. Itulah pesan yang harus ditindaklanjuti oleh semua orang yang menempuh puasa Ramadan dan penemu Lailatul Qadar untuk hari-hari dan masa-masa seterusnya.
Kedamaian, kesejahteraan, apresiasi, simpati, dan solidaritas sosial yang menyatu pada watak orang-orang berpuasa, merupakan transformasi Lailatul Qadar. Itulah yang menjadi tujuan puasa Ramadan dalam membentuk manusia bertakwa, yang siap menjalankan segala perintah Allah SWT, yaitu beriman kepada-Nya dan berbuat bajik serta santun kepada sesama manusia. Sekaligus tentu meninggalkan larangan-Nya, terutama berbuat kerusakan di muka bumi dalam segala format dan jenisnya. (Oleh H Usep Romli HM, Pengasuh Pesantren Budaya Raksa Sarakan, Garut)