Tak Ada Tempat Berlindung bagi Anak Korban Konflik di Gaza dan Suriah

By , Senin, 28 Juli 2014 | 16:52 WIB

Seorang bocah 12 tahun, Syed, bersandar ke sebidang dinding beton dan menatap kosong ke arah permukaan abu-abunya yang kasar."Ketika kami duduk bersama di mobil ambulans, saya pikir dia akan hidup sehingga saya bisa merasa sedikit lebih baik," kata Syed seusai mengantar adik laki-lakinya, Mohammad, ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Mohammad telah tiada. Bom Israel telah merenggut nyawanya.Begitu pula dengan nyawa tiga sepupu Syed yang juga terkena serangan Israel pada 16 Juli ketika mereka sedang bermain dekat pelabuhan Gaza.Saat itu, Israel menembak dua kali dalam sebuah aksi serangan.Israel mengatakan mereka tidak bermaksud menargetkan penduduk sipil. Namun, Gaza adalah wilayah permukiman yang dihuni 1,6 juta orang. Serangan-serangan Israel praktis tidak menyisakan tempat berlindung bagi anak-anak.Dari sisi Hamas, mereka membantah menggunakan warga sipil sebagai tameng. Tapi, wartawan BBC menyaksikan roket ditembakkan dari dalam bangunan dan lapangan.Tewas tiap jamJumlah anak-anak yang tewas pun semakin bertambah seiring dengan tidak menentunya solusi perdamaian. Pekan lalu di Gaza, Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa satu orang meninggal tiap jam.Sementara itu, sebelum Gaza menjadi berita di halaman-halaman utama berbagai media massa, nasib anak-anak Suriah menjadi perhatian.Dalam perang yang kini memasuki tahun keempat, jutaan anak-anak menjadi korban.Mereka hidup dengan kelaparan dan ketakutan. Banyak di antara mereka terpaksa bermukim di wilayah yang terkepung tanpa pasokan makanan, minuman, dan obat-obatan."Bukan anak-anak"Setiap berkunjung ke Suriah, saya mulai menyadari bahwa anak bukanlah hanya sekedar anak-anak, yang menangis atau tersenyum.Mereka berada di garis depan, dan mampu bercerita tentang kompleksitas konflik yang mereka alami.Selama enam bulan, saya dan Robin Barnwell mengikuti enam anak Suriah. Kisah-kisah mereka menjadi sebuah gambaran peta politik dan sosial yang tengah dihadapi negara ini - sekaligus memberikan gambaran masa depan yang memprihatinkan."Penampilan saya memang anak-anak," kata Ezadine, 9. "Tetapi untuk hal moral dan kemanusiaan, saya bukan (anak-anak). Di masa lalu, 12 tahun dianggap muda, tapi tidak sekarang. Sekarang, 12 tahun, Anda harus pergi jihad."Seorang anak lain, bernama Jalal, mengatakan, "Krisis telah mengubah kami. Kini anak-anak mengerti politik dan berbicara tentang politik. Kami telah berkorban untuk negara kami.""Saya sangat membenci masa depan," kata Daad, 11. "Kami mungkin hidup, atau kami juga mungkin mati."