Kesan Idul Fitri di Mata Pengungsi Syiah Asal Sampang

By , Selasa, 29 Juli 2014 | 21:55 WIB

Gema takbir yang membahana pada Minggu hingga Senin dini hari awal pekan ini lalu menjadi penanda bahwa hari raya Idul Fitri telah tiba. 

Bagi kaum Syiah asal Sampang, Madura, yang menghuni rumah susun Puspo Agro di Sidoarjo, pinggiran Surabaya, hari terbesar umat muslim tahun ini sungguh berbeda. 

Meski mereka menyambutnya dengan gembira, namun ada terselip kesedihan. 

Berbeda dengan umat Muslim lainnya yang bisa bersilaturahim ke sanak saudara setelah menunaikan salat Ied, mereka justru kembali ke rumah susun tempat mereka mengungsi selama sekitar dua tahun belakangan. 

"Waktu kami masih di kampung dulu, sehabis Salat Ied kami bersilaturahim ke rumah orang-orang tua. Anak-anak juga gembira dengan memakai baju baru. Kini, di pengungsian, anak-anak hanya memakai baju sehari-hari," papar koordinator pengungsi Syiah asal Sampang di Sidoarjo, Iklil al Milal kepada BBC Indonesia.

"Kami juga tidak bisa berkumpul dengan sanak saudara. Bahkan ada larangan kami tidak boleh pulang kampung. Padahal keluarga di sana mengharapkan kedatangan kami untuk bersama-sama merayakan Idul Fitri," tambahnya. 

Harapan kaum Syiah yang mengungsi ke Sidoarjo, sambung Iklil, adalah mereka dapat merayakan Idul Fitri tahun depan di kampung halaman. 

Jaminan kebebasan beragama 

Dambaan Iklil untuk bisa merayakan Idul Fitri dengan tenang dan damai juga diutarakan Ahmad Garnida, pengurus Ahmadiyah daerah Cianjur, Jawa Barat. 

"Kami berharap siapapun pemerintahannya nanti untuk bertindak adil." 

Permohonan tersebut mendapat tanggapan dari pemerintah. Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin, yang dihubungi BBC Indonesia lewat telepon menyatakan hak kebebasan beragama dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. 

"Ada tanggung jawab konstitusional pada negara dan pemerintah untuk memberi jaminan kemerdekaan dan perlindungan dalam memeluk agama serta menjalankan agama yang dipeluk. Semua agama yang dianut rakyat Indonesia harus mendapat perlakukan proporsional dan adil," ujarnya. 

Aspek kebebasan beragama ini agaknya menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintahan baru mendatang. 

Data lembaga pemerhati kebebasan beragama di Indonesia, Setara Institute, mencatat sepanjang 2013 lalu, terjadi 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang tersebar di 20 provinsi.