Dunia Menghadapi Kelangkaan Air

By , Jumat, 1 Agustus 2014 | 17:51 WIB

Kelangkaan air mungkin masalah sumberdaya paling diremehkan yang dihadapi dunia saat ini. Padahal masalah kelangkaan air sudah mulai dihadapi dunia. 

Ini diungkapkan Earth Policy Institute dalam sebuah rilis, Rabu (30/7).

Tujuh puluh persen dari air dunia digunakan untuk irigasi. Ini harus disadari. Tiap harinya kita minum air kira-kira 4 liter saja, akan tetapi dibutuhkan 2.000 liter air —alias 500 kali lipat lebih banyak— untuk memproduksi makanan yang kita konsumsi. Dalam produksi 1 ton gandum, sebanyak 1.000 ton air digunakan.

Di antara tahun 1950 sampai dengan 2000, area irigasi dunia memang tercatat naik tiga kali lipat, menjadi sekitar 700 juta hektare. Bagaimana pun, pasca beberapa dasawarsa peningkatan, pertumbuhan telah melambat drastis—perluasan hanya 9 persen dari 2000-2009.

Hal ini, ditambah berkurangnya sumber-sumber air tanah, memberi sinyal bahwa dunia sudah menuju kelangkaan air.

Pada hari ini terdapat 18 negara, memompa akuifer air tanah mereka secara berlebihan, di antaranya tiga negara penghasil gandum yaitu Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Arab Saudi adalah negara pertama yang secara terbuka memprediksi bagaimana hasil panen gandum turun akibat penipisan akuifer. Dan negaranya akan segera bergantung total pada impor baik dari pasar dunia maupun proyek-proyek pertanian luar negeri.

Sementara itu, air terjun yang sebagian besar tersembunyi, mata air-mata air mengering atau berkurang sebelum mencapai laut, sangat terlihat.

Antara lain sejumlah sungai besar; Sungai Colorado di barat daya AS, Sungai Kuning di utara Tiongkok, hingga Sungai Indus di Pakistan dan Gangga di India. Pula banyak sungai kecil dan danau-danau menghilang seiring meningkatnya kebutuhan air.

Dunia sudah menghadapi masalah kelangkaan air di depan mata.

Sering dikatakan bahwa perang di masa depan akan lebih mungkin perebutan air ketimbang minyak. Namun, kenyataannya kompetisi untuk air ini tengah terjadi di pasar gandum dunia. Negara-negara dengan finansial terkuat, cenderung jadi yang bernasib paling baik dalam kompetisi sengit ini.

Perubahan iklim terkait perubahan hidrologis. Kenaikan temperatur rata-rata global akan berarti cuaca ekstrem: kita bicara kekeringan pada beberapa daerah, banjir pada daerah-daerah lain, serta tamatnya prediktabilitas untuk keseluruhan segi.