Ritual Sesaji Rewanda, Menjaga Keseimbangan Alam di Gua Kreo

By , Rabu, 6 Agustus 2014 | 11:14 WIB

Gunungan nasi dan lauk yang dibungkus daun jati, setinggi sekitar 2,5 meter, langsung habis diambil ratusan warga dan wisatawan yang memadati pelataran Gua Kreo, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (3/8). Nasi golong yang oleh warga setempat disebut sego kethek (nasi monyet) itu hanya boleh diberi lauk sayuran, tempe, dan tahu. Sementara itu, gunungan buah-buahan langsung diserbu puluhan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) begitu diletakkan di depan pintu Gua Kreo yang berada di tengah-tengah Waduk Jatibarang. Sesuai namanya, rewanda yang artinya monyet, sesaji ini memang ditujukan bagi monyet-monyet yang selama ini menghuni kawasan Gua Kreo. Selain gunungan buah-buah dan gunungan sego kethek, masih ada dua gunungan lain, yaitu gunungan hasil bumi (yang berisi antara lain jagung, singkong, mentimun, wortel, kacang tanah) serta gunungan lepet dan ketupat. Empat gunungan ini merupakan bagian dalam ritual Sesaji Rewanda yang berlangsung meriah di desa wisata Kandri. Ritual yang selalu diadakan warga Kandri pada 1 Syawal atau hari ketiga hari raya Idul Fitri ini juga menjadi atraksi wisata unggulan Pemerintah Kota Semarang. Ritual Sesaji Rewanda diawali dengan arak-arak mengusung empat gunungan dari Kampung Kandri ke Gua Kreo, sepanjang sekitar 800 meter. Di barisan terdepan, empat orang dengan riasan dan kostum monyet warna merah, putih, hitam, dan kuning. Barisan selanjutnya adalah replika batang kayu jati yang konon diambil oleh Sunan Kalijaga. Baru kemudian barisan gunungan dan para penari. Menurut tokoh masyarakat Kandri yang juga keturunan juru kunci Gua Kreo, Mbah Kasmani, ritual Sesaji Rewanda sudah berlangsung sejak lama. Ada tiga tujuan warga Kandri melestarikan tradisi ini. Pertama, bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan keselamatan selama ini. Kedua, ritual arak-arakan dengan mengusung replika batang kayu jati tersebut merupakan bagian dari napak tilas Sunan Kalijaga saat ke Gua Kreo yang dahulu merupakan kawasan hutan jati. Sunan Kalijaga mencari batang kayu jati pilihan untuk mendirikan Masjid Agung di Demak. ”Ritual sesaji ini juga untuk memberi makan para monyet. Ini bentuk upaya warga untuk menjaga keseimbangan alam dan hewan di kawasan Kreo. Para monyet itu konon juga membantu Sunan Kalijaga menggulirkan batang kayu jati supaya bisa hanyut ke Sungai Kreo untuk dibawa ke Demak,” ujar Kasmani. Jadi ikon wisata Ketika arak-arakan gunungan tiba di pelataran Gua Kreo, wisatawan disuguhi pertunjukan sejumlah tarian, seperti tari gambyong, semarangan, dan wanara atau tarian monyet yang dimainkan anak-anak. Sesaat setelah pemuka masyarakat setempat memberi doa, sesaji gunungan selain gunungan buah-buahan boleh diambil oleh siapa saja. Gunungan buah-buahan khusus untuk monyet. Sebelum 2002, ritual ini murni swadaya warga Kandri. Warga selalu menggelar sesaji pada hari ke-3 setelah 1 Syawal atau sepakan setelah Idul Fitri. Lambat laun, tradisi ini semakin menarik perhatian banyak wisatawan dari Kota Semarang dan dari luar kota. Pada 2002, Pemerintah Kota Semarang mengangkat ritual dan tradisi Sesaji Rewanda sebagai ikon wisata unggulan Kota Semarang. Sejak itu, Pemkot selalu memberikan bantuan anggaran untuk mendukung prosesi dan tradisi Sesaji Rewanda. Tahun ini, tak kurang Rp 29 juta dikucurkan guna menjadikan tradisi adat ini semakin meriah. Tokoh pegiat Desa Kandri, Widodo, mengatakan, monyet-monyet di Gua Kreo menjadi pertanda kelestarian lingkungan di daerah tersebut. Gua Kreo selama ini dijaga juru kunci Mbah Jamad dan keturunannya, yang asli Kandri. Bagi warga Kandri, tingkah polah monyet itu juga pertanda lingkungan ataupun kawasan hutan di daerah ini tetap lestari atau sedang berubah. Ketika proyek Waduk Jatibarang mengepung Gua Kreo, banyak monyet dari luar Kandri berdatangan. Mereka tampaknya terusik karena ada bukit dikepras, hutan dibabat, dan alih fungsi lahan yang menyebabkan monyet kekurangan makanan. Salah satu pengunjung, Bayu dari Kabupaten Demak, mengatakan, mengingat tradisi ini sudah menjadi agenda wisata, sebaiknya Pemkot Semarang membuat jalan baru. Dengan demikian, wisatawan tidak terjebak macet saat akan pulang.