Rumah Mawar, saya menyebutnya demikian. Rumah itu terletak di Gang Mawar, ia tersembunyi di balik deretan ruko pasar lama di Jalan Budi Utomo, Singkawang, Kalimantan Barat. Kota Seribu Klenteng.Memasuki Gang Mawar, tersaji pemandangan tepian Sungai Singkawang dengan dihiasi pohon willow atau dedalu. Daunnya tak sesubur seperti pohon sejenis yang tumbuh di negara beriklim subtropis, namun tetap memberikan suasana pemandangan alam bak lukisan tradisional Cina yang menggunakan imaji pohon willow sebagai simbol kecantikan dan keindahan musim semi. Rumah Mawar menjadi salah satu ikon pecinan Singkawang yang menjadi daya tarik wisata sejarah kota itu. Rumah keluarga Tjhia (Mandarin: Xie) konon sudah berusia 100 tahun lebih. Dibangun oleh perintis pertamanya yaitu Tjhia Hiap Seng (Xie Feng Chen) pada 1902 di atas tanah seluas 5.000 meter persegi. Kini rumah itu dihuni oleh generasi keenam keluarga Seng.
Arsitektur bangunannya identik dengan arsitektur bangunan rumah tradisional Cina, Si He Yuan—halaman yang dikelilingi bangunan di keempat sisinya. Pola dasar arsitekturnya meliputi tata letak tempat ibadah, biara, istana, perkantoran, dan rumah tinggal. Khusus untuk rumah tinggal, di masa silam, biasanya dijadikan tempat bermukim bagi setidaknya lima generasi keluarga dan menjadi simbol kekayaan dan kesejahteraan pemiliknya. Tata ruang tersebut memiliki pakem yang terdiri atas ruang penerima tamu, ruang utama, ruang pemilik rumah, ruang anak laki-laki, ruang anak perempuan, ruang pembantu, dan sebuah taman di tengah bangunan. Taman yang dikelilingi bangunan tersebut merupakan tempat pusat pertemuan keluarga saat anggota keluarga merayakan kebersamaan pada malam tahun baru Imlek dan perayaan lainnya, seperti perayaan makan kue bulan. Demikian pula dengan Rumah Mawar. Selain memiliki fungsi ruang yang telah menjadi tradisi penggunaan ruang dengan konsep Si He Yuan, Rumah Mawar masih meninggalkan sejumlah jejak kemewahannya, ukiran-ukiran pelbagai aksara dan motif tradisional yang terpahat di beberapa sudut rumah kayu ulin tersebut.
Uniknya, bangunan ini tak hanya menerapkan konsep Siheyuan, tetapi juga mengambil bentuk arsitektur kolonial yang menyiratkan aura kemegahan modernitas pada awal abad ke-20. Walaupun bangunan Rumah Mawar tak semegah bangunan rumah Kampung Kapitan Palembang, rumah keluarga Tjhia ini menyimpan nilai historis dan budaya. Rumah ini menjadi saksi perubahan Kota Singkawang yang dikenal dengan nama San Kew Jong—bahasa Hakka yang berarti daerah yang dikelilingi gunung, laut, dan sungai. Kini, ruang utamanya menjadi klenteng. Rumah yang ditinggali oleh setidaknya sepuluh keturunan keluarga Tjhia ini dirawat oleh anggota keluarga yang membentuk Yayasan Keluarga Tjhia. Yayasan ini juga beranggotakan keturunan keluarga Tjhia yang berada di luar Singkawang, seperti keluarga yang berdomisili di Pontianak dan kota-kota lainnya, bahkan keluarga yang berada di luar negeri. “Ini warisan keluarga yang tak ternilai harganya. Kami bersama-sama merawatnya,” ujar Tedy, seorang anggota keluarga Tjhia. Saat-saat tertentu seperti Imlek dan hari sembahyang, keluarga dan masyarakat mengunjungi Klenteng Rumah Mawar untuk bersembahyang. Rumah warisan ini telah menggenapkan penanda pecinan Singkawang seperti pesta Cap Gomeh, Tugu Naga Singkawang, Klenteng Bumi Raya, Makam Taman Manggis Raya, Warung Kopi Nikmat, dan Kota Tua Singkawang. (Agni Malagina, Sinolog dari FIB Universitas Indonesia)