Pendekatan Baru Penanggulangan HIV

By , Kamis, 7 Agustus 2014 | 21:00 WIB

Infeksi HIV pada kelompok berisiko, yakni pengguna narkoba suntik, waria, dan lelaki penyuka sesama jenis, menjadi tantangan dalam penanggulangan HIV di Indonesia pada masa depan. Pada 2007-2011, prevalensi HIV banyak di kalangan pekerja seks langsung (tanpa perantara), waria, dan lelaki penyuka sesama jenis (LSL). Namun, itu berubah pada 2009-2013. ”Ini butuh penanganan baru,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (5/8). Perwakilan dari sejumlah badan internasional, misalnya UNAIDS, ILO, dan WHO, turut hadir. Juga Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Kemal N Siregar. Menurut Nafsiah, dari lima populasi berisiko, yakni pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks wanita langsung, pekerja seks wanita tidak langsung (terselubung menggunakan perantara), waria, dan LSL, hanya prevalensi HIV pada pekerja seks wanita langsung dan tidak langsung yang tidak meningkat dalam kurun waktu 2009-2013. Tren prevalensi penasun pada 2009 sebesar 8,8 persen meningkat menjadi 14,4 persen pada 2013. Demikian juga prevalensi waria dari 5,8 persen (2013) menjadi 8,2 persen (2013) dan LSL dari 2,5 persen (2009) menjadi 7,4 persen (2013). Nafsiah mengaku heran dengan fakta itu. Sebab, sejak 2006, berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi penularan HIV. ”Jarum suntik steril disediakan dan alat pelindung juga bisa dibeli di mana-mana, tapi tetap saja banyak yang tak memakainya. Jika punya perilaku berisiko, pakailah alat pelindung,” ujar dia. Kebijakan pemerintah pada kurun waktu 2006-2014 antara lain intervensi terhadap populasi berisiko, seperti pengguna narkoba suntik, pekerja seksual, dan pencegahan penularan dari ibu kepada bayinya. Sebagai contoh, periode 2011 hingga Juni 2014, jumlah ibu hamil HIV positif yang mendapat obat antiretroviral (ARV) terus meningkat, secara berturut-turut 601 orang, 1.070 orang, 1.544 orang, dan 1.456 orang. Hasilnya, persentase bayi yang dilahirkan positif HIV menurun. Pada 2011, dari 949 bayi lahir dari ibu HIV positif 7,5 persen (71 bayi) tertular HIV, pada 2012 dari 1.458 bayi dilahirkan 5,9 persen (86 bayi) positif HIV, dan tahun lalu dari 1.630 bayi dilahirkan 5,6 persen (91 bayi) tertular HIV. Sampai Juni 2014, dari 926 bayi dilahirkan, 5,8 persen (54 bayi) terinfeksi. Sementara angka kematian (CFR) terkait AIDS juga menurun dari 11,04 persen pada 2006, 6,31 persen (2008), 5,01 persen (2010), 3,79 persen (2012), dan 0,4 persen (Juni 2014). Akan tetapi, tren epidemi HIV saat ini menunjukkan bahwa ternyata ancaman infeksi HIV dari penasun, waria, dan LSL kecenderungannya terus meningkat. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Kemal N Siregar menyebutkan, melalui pemodelan yang menjadi strategi rencana aksi nasional, laju epidemi HIV pada 2010-2014 berhasil ditekan, terutama pada kelompok pengguna narkoba suntik, lelaki berisiko rendah, wanita pekerja seks, dan pembeli seks. Namun, laju epidemi kelompok perempuan berisiko rendah dan LSL justru tetap tinggi. Perempuan berisiko rendah umumnya ialah ibu rumah tangga yang terinfeksi dari suaminya atau perempuan yang tertular dari pasangannya. ”Banyak istri yang tidak berani bilang suaminya ketika diketahui positif HIV. Padahal, suaminyalah yang menularkan,” ujar Nafsiah. Steve Kraus, Direktur UNAIDS Regional Asia Pasifik, menambahkan, terpenting pada penanggulangan HIV/AIDS adalah memperluas cakupan pemeriksaan, pengobatan, dan perlindungan/pencegahan penularan. Tes HIV harus mudah, murah, dan gampang diakses.