Salah Olah dan Kelola, Lahan Dieng Kritis

By , Selasa, 12 Agustus 2014 | 19:47 WIB

Salah olah dan kelola lahan sayur-mayur di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah, mengancam masa depan warga. Sistem pertanian ramah lingkungan ditinggalkan.

Penanaman kentang yang merambah semua wilayah hingga lereng bukit, dibarengi penggunaan pestisida dan pupuk berlebih, turut memicu kondisi tanah di Dieng semakin kritis.

Ketua Asosiasi Petani Kentang Dieng Mudasir, Senin (11/8), mengatakan, petani semakin berlebihan dalam menggunakan bahan kimia untuk obat tanaman. Selain itu, mereka salah dalam menggunakan pupuk, yaitu dengan memakai kotoran ayam yang belum diolah.

"Kebanyakan petani salah menggunakan kotoran ayam mentah. Padahal, kotoran ayam semestinya dilakukan dekomposisi terlebih dulu untuk menjadi pupuk kompos," ujar Mudasir.

Dosis penggunaan kotoran ayam pun kian berlebihan. Jika pada 1990 lahan kentang seluas 1 hektar membutuhkan 20 ton kotoran ayam, kini untuk luasan yang sama digunakan 35-40 ton kotoran ayam.

Kelemahan kotoran ayam mentah adalah banyaknya penyakit yang dibawa. Itu juga merusak tanah dan merugikan tanaman. Kotoran ayam yang masih mentah juga menjadi panas ketika lapuk di tanah sehingga berpotensi melukai tanaman.

Penggunaan kotoran ayam yang berlebihan juga menyebabkan polusi udara di Dieng. Sepanjang Dataran Tinggi Dieng, bahkan hingga ke kawasan candi, bau tidak sedap selalu tercium dari kotoran ayam yang menumpuk di banyak tempat.

Selain itu, penggunaan pestisida juga terlalu berlebih. Pada 1 hektare lahan kentang, untuk satu kali musim tanam, normalnya dibutuhkan 75-100 liter pestisida. Namun, petani kentang di Dieng menggunakan hingga 300 liter pestisida per musim tanam.

Akibatnya, lahan di Dieng semakin kritis. Saat ini, 7.758 hektare dari total sekitar 10.000 hektare lahan di Dieng kritis, yang meliputi 4.000 hektare di Wonosobo dan sisanya di Banjarnegara.

Kerusakan lahan juga dipicu penanaman kentang di areal lereng dengan kemiringan hingga 70 derajat. Akibatnya, erosi tanah di Dieng mencapai 4,5 juta ton per tahun sehingga, saat hujan deras, air langsung menerjang lereng karena tidak ada tegakan penangkap air.

Penyemprotan pestisida atau insektisida yang terlalu sering tanpa memperhatikan kebutuhan tanaman menyebabkan tanaman tidak sehat. Hama akan semakin kebal sehingga sulit dibasmi atau dikendalikan. Belum lagi zat hara dalam tanah yang kian terkikis akibat terlalu jamak menyerap racun yang dikandung pestisida dan insektisida.

"Kami sudah mengajak petani beralih ke pertanian organik. Namun, kebanyakan enggan karena tidak mau hasil produksi kentang turun," tutur Kabul Suwoto, anggota Kelompok Tani Dieng Perkasa yang aktif menyosialisasikan pertanian organik.

Akibat degradasi lahan di Dieng, produksi kentang yang pada akhir 1990-an berkisar 25-30 ton per hektar (ha) kini tinggal 10-13 ton per ha. Menurut Kabul, dengan sistem organik, produksi memang akan turun sedikit dulu karena akan ada penyesuaian tanah. Namun, setelah 2-3 tahun, produksi akan melonjak lagi.

Kabul membuktikan, tanaman kentang organiknya yang sudah dimulai sejak tahun 2006 pernah menghasilkan kentang hingga 50 ton per ha. Bupati Wonosobo Kholiq Arif mengatakan, kabupaten yang ia pimpin bahkan kehilangan tiga miliar meter kubik air karena 138 dari 582 mata air di Dieng sudah mati.

"Penanaman kentang sudah mulai dibatasi di Dieng. Kami terus berupaya memulihkan kesuburan Dieng," kata dia.