Korupsi, menjadi salah satu problema yang terus terjadi di Indonesia bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Hal inilah yang membuat Laora Arkeman bersedia menyunting kembali Max Havelaar.
“Buku ini layak dibaca karena persoalan yang diangkat Multatuli masih relevan dibaca orang zaman sekarang. Kejadian yang terus terjadi sejak abad 19 yaitu korupsi contohnya,” papar Laora Arkeman dari saat diskusi buku, yang digelar Selasa (12/8) malam di Erasmus Huis, Jakarta.
Diskusi buku yang dipandu oleh Willy Pramudya dari Aliansi Jurnalis Indonesia ini menghadirkan pula pembicara Ibnu Wahyudi dari FIB-UI.
Willy Pramudya menekankan, korupsi yang terjadi di Indonesia sulit dihilangkan karena serupa sebagai penyakit sosial. Melalui buku Max Havelaar ini, membuat pembaca melihat konteks kekinian yang terjadi di masa lampau.
Harapan bagi peserta diskusi, buku Max Havelaar dapat dijadikan buku pembelajaran tentang korupsi. Laora Arkeman menyatakan keoptimisannya bahwa pendidikan dapat mengubah sikap manusia, walau perlu waktu.
Mengenai benar atau tidaknya kisah yang ditulis Multatuli ini tidak menggentarkan Penerbit Padasan menerbitkan buku yang cukup kontroversial ini. Multatuli, adalah nama pena Eduard Douwes Dekker. Eduard Douwes Dekker yang juga pernah menjabat sebagai asisten residen di Lebak pada Januari sampai April 1856, menggambarkan praktek korupsi yang terjadi.merinci bagaimana tanam paksa terjadi di Hindia Belanda. Penderitaan rakyat di daerah terjajah yang selama zaman itu belum terekspos.
(Baca lebih lanjut: Mencari Jejak Max Havelaar di Lebak)
Buku Max Havelaar ini merupakan roman pertama yang berkisah tentang nasib buruk penduduk pribumi di bawah kekuasaan kolonial.
Novel ini mengguncang pandangan mengenai Pemerintahan Hindia Belanda yang menyengsarakan negeri jajahannya. Dari tulisannya itu, tanam paksa atau cultuurstelsel yang berlaku di Hindia Belanda dihentikan pada 1870.