Kisah Petaka Rombongan Pemusik Belanda dalam Monumen Padalarang

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 14 Agustus 2014 | 17:15 WIB
Monumen Padalarang dibangun untuk mengenang tragedi jatuhnya pesawat KLM DC-3. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Taman Makam Kehormatan Ereveld Pandu di Bandung. (Mahandis Yoanata Thamrin)
Taman Makam Kehormatan Ereveld Pandu di Bandung. Di sinilah peristirahatan terakhir tiga pemusik semiklasik Belanda: Pianis Elisabeth Everts (28 tahun), pemain cello Johan Gutlich (36 tahun), dan violis Rudi Broer Van Dijk (22 tahun). Juga, seorang eluctionist dan serdadu angkatan darat KNIL. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Prosesi pemakaman lima dari 19 korban jatuhnya pesawat KLM di dekat Padalarang pada 10 Februari 1948. (Legermuseum/Koninklijke Bibliotheek)
Prosesi pemakaman lima dari 19 korban jatuhnya pesawat KLM di dekat Padalarang pada 10 Februari 1948, pukul 16.30. Mereka dikebumikan di permakaman Parkweg, Bandung pada 12 Februari 1948. Dua tahun kemudian, mereka dimakamkan kembali di Ereveld Pandu. (© Het Geheugen van Nederland/Koninklijke Bibliotheek - Nationale bibliotheek van Nederland)

Pesawat Douglas DC-3 milik maskapai penerbangan KLM. (Wikipedia)
Pesawat Douglas DC-3 milik maskapai penerbangan KLM seperti inilah yang jatuh di dekat Padalarang pada 10 Februari 1948. Pesawat jenis ini populer digunakan untuk penerbangan sekitar 1930-an hingga 1940-an. Foto pada 1947. (Wikipedia)

Penyebab jatuhnya pesawat Dakota di dekat Padalarang tak pernah terungkap—setidaknya hingga hari ini. Cukup aneh, lantaran ML-KNIL di Batavia melaporkan Dakota DC-3 bernomor seri DT-947 itu terpelihara dengan baik dan juga tidak pernah ada keluhan sebelumnya. Penyelidikan terkatung-katung. Usai penyerahan kedaulatan pada Desember 1949, demikian menurut laporan akhir dari komite penyelidik, banyak bukti tertulis yang telah dihancurkan dan alasan lain yang menyulitkan tim untuk mengungkap.  Kendati penyebab kemalangan masih belum terungkap, nama Elisabeth Everts tetap dikenang di Belanda sebagai bentuk penghargaan dua tahunan berupa dana untuk pemusik muda sejak 1949. Ide tersebut datang dari seorang violis yang merupakan ibu dari Elisabeth Everts. Pada peringatan 22 tahun wafatnya Lizzie, demikian panggilan kesayanganya Elisabeth, Sang Ibu mendirikan Stichting Elisabeth Everts Fonds, sebuah yayasan untuk mengenang putrinya. 

“Ada dugaan pesawat kena sabotase,” ungkap Olivier Johannes Raap, warga Delft yang gemar menyelisik sejarah dan budaya Indonesia. Serial bukunya tentang koleksi kartu pos zaman Hindia Belanda-nya telah terbit di Indonesia. Menurutnya, kebetulan salah satu penumpang pesawat itu merupakan seorang petugas penyelidik kasus korupsi. Si petugas membawa sebuah tas berisi dokumen penting yang akan diserahkan kepada petinggi militer ML-KNIL di Batavia. Akhirnya, tim penyelamat menemukan tas berisi dokumen tersebut di lokasi kejadian untuk dibawa ke Batavia, demikian menurut Olivier. Pada waktu itu kasus korupsi telah membelit tubuh militer Belanda. Tampaknya petugas penyelidik yang malang itu tengah menyingkap kasus korupsi beberapa opsir Belanda.  Mereka menyelundupkan barang dan bekerja sama dengan mafia Tionghoa. Penyelundupan itu menggunakan pesawat militer Belanda secara illegal. “Namun, tas sampai tujuan dalam keadaan kosong,” ungkap Olivier. “Dokumen-dokumen tadi hilang.”Bagi orang Indonesia, peristiwa petaka Dakota DC-3 di Padalarang tampaknya tertutup oleh kesibukan usai perundingan Renville pada Januari 1948. Negeri yang baru belum genap tiga tahun itu tengah menarik dan merelokasi besar-besaran para prajuritnya dari pedalaman Jawa sebagai konsekuensi perundingan.

Penyebab petaka penerbangan itu masih gelap. Bahkan, peristiwa itu telah terhapus dalam ingatan sejarah kita. Namun, andaikata dugaan sabotase itu benar, tampaknya negeri ini telah menjadi ajang bancakan para koruptor sejak lama.

Satu hal yang tidak berubah, dan perlu diwaspadai, koruptor selalu mencari jalan apapun untuk melumpuhkan petugas pemberantasan korupsi. Seorang demonstran muda, Soe Hok Gie pernah berkata, "Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktaktor yang tanpa uang mau memberantas korupsi.”