Transformasi Budaya Silat Betawi

By , Jumat, 15 Agustus 2014 | 17:45 WIB

Silat Betawi merupakan seni bela diri tradisional yang kini bergerak menuju transformasi budaya, seperti menjaid tradisi adegan palang pintu dalam acara pernikahan. Kekhasan silat Betawi ini bagian dari jati diri bangsa.

“Silat Betawi sebagai seni bela diri kerap disebutkan berasal dari Tiongkok. Namun, gerak seni bela diri silat Betawi berbeda dan tidak dapat di Tiongkok sehingga ini menjadi kekhasan jati diri bangsa,” tutur guru silat Beksi, Basir Bustomi, dalam diskusi “Jago Silat Betawi Angkat Bicara”, Kamis (14/8), di Bentara Budaya Jakarta. 

Kekhasan silat Betawi ini bagian dari jati diri bangsa.

Basir mengatakan, silat Betawi Beksi memiliki kekhasan gerak tangan yang cepat untuk pertarungan jarak dekat. Ia menuturkan riwayat silat Beksi.

Pada mulanya, sekitar tahun 1928, di Dadap, Tangerang, yang berbatasan dengan Jakarta Barat, petani peranakan Tiongkok, Lie Cheng Ok (1854-1951), gemar mengajarkan seni bela diri.

Seni bela diri Cheng Ok ini yang kemudian tumbuh menjadi silat Beksi, yang berarti pertahanan pada empat penjuru. Hingga melalui berbagai peristiwa, tokoh Ghozali yang berasal dari Petukangan, Jakarta Selatan, kemudian mengembangkan silat Beksi hingga bertahan sampai sekarang. Beksi tinggal sebagai silat Betawi yang paling banyak perguruannya di Jakarta dan wilayah sekitarnya.

“Meskipun pertama kali dikembangkan oleh Lie Cheng Ok dari peranakan Tiongkok, seni bela diri Beksi yang berkembang sampai sekarang itu tidak pernah ada di Tiongkok,” kata Basir.

Hadir narasumber lainnya dalam diskusi tersebut, yaitu guru besar perguruan silat Betawi Mustika Kwitang, Zakaria, dan guru silat Betawi Cingkrik Rawa Belong, Nur Ali Akbar. Diskusi ini merupakan bagaian dari kegiatan “SILATurahmi” yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta, 14-16 Agustus 2014.

Diskusi dalam dua hari berikutnya bertemakan “Kaum Jago & Kemerdekaan RI” dan “Evolusi Silat Betawi, Olah Fisik ke Olah Sastra”.

Diskusi dilanjutkan pada malam hari pertama dan kedua dengan menggelar pertunjukan jurus-jurus seni bela diri dari 20 perguruan silat Betawi yang berpartisipasi. Diperkirakan, pada masa tertentu, di wilayah Jakarta dan sekitarnya terdapat sekitar 50 perguruan silat Betawi.

Berangsur-angsur, keberadaan perguruan silat Betawi ini berkurang. Minat generasi penerus tergerus kebudayaan seni bela diri asing, seperti dari Jepang dan Korea. Zakaria mengatakan, generasi muda semestinya menaruh minat terhadap silat Betawi yang khas ini.

“Pada tahun 2003 saya pernah diminta ke Inggris untuk mengajarkan pencak silat Betawi di sana. Anak-anak muda generasi kita semestinya tertarik,” tutur Zakaria. 

Silat Betawi mendesak untuk dikenalkan melalui sistem pendidikan sejak dini.

Nur Ali Akbar mengatakan, kondisi sekarang dan masa depan memberikan tantangan berat guna terus membangkitakan minat generasi muda untuk melestarikan seni bela diri silat Betawi.

Ia mendorong guru-guru silat Betawi untuk lebih kreatif.

“Guru silat Betawi agar memiliki kemampuan mendongeng supaya lebih mudah dan menarik untuk menanamkan nilai-nilai seni bela diri kepada generasi penerusnya,” ungkap Nur Ali.

Silat Betawi juga mendesak untuk dikenalkan melalui sistem pendidikan sejak dini. Diusulkan, supaya silat Betawi masuk menjadi bagian dari pendidikan ekstrakurikuler di Jakarta dan sekitarnya.