Pada suatu malam, 16 Agustus 1945, Frans Soemarto Mendur mendengar kabar dari rekannya, seorang wartawan Jepang, bahwa keesokan hari akan dilakukan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Soekarno. Frans sempat tak percaya. Namun, sejak pukul 05.00, ia sudah berangkat berbekal "senjata" bermerek Leica, kamera yang menemaninya sehari-hari sebagai wartawan.
Mulai tumbuh rasa percaya Frans saat melihat puluhan pemuda Indonesia berjaga-jaga di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, yang tak lain adalah kediaman Bung Karno, panggilan akrab Soekarno. Di tempat itu pula ia melihat tokoh Indonesia yang tak hanya dari Jakarta saja, tetapi juga dari daerah, berkumpul. Frans juga melihat Bung Karno dan Bung Hatta, panggilan Mohammad Hatta, tengah berunding dengan sejumlah tokoh itu di satu ruangan.
Sekitar 10 menit sebelum pukul 10.00, tanggal 17 Agustus 1945, bergemuruh teriakan "Hidup Indonesia!" dan "Indonesia Merdeka!" saat Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh lain keluar rumah menuju halaman depan. Lantas terdengar aba-aba agar hadirin siap tegak berdiri. Tak lama kemudian, Bung Karno mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Seusai pembacaan teks proklamasi oleh Bung Karno, pecahlah pekik "Merdeka!" berulang-ulang oleh hadirin yang ada sembari mengepalkan tangan ke udara. Sulit dilukiskan perasaan orang yang ada ketika itu. Sebagian tampak menitikkan air mata. Frans, yang turut larut emosinya, nyaris lupa menjepretkan kamera. Namun, ia sempat mengabadikan pengibaran Bendera Merah Putih yang sudah mencapai ujung tiang bendera.
Warisan bersejarah
Kisah di atas adalah sekelumit kesaksian Frans Soemarto Mendur saat menjadi saksi sejarah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Saat itu ia sebagai wartawan harian Asia Raja. Kesaksian itu dimuat di sebuah koran yang tidak tertera nama dan edisi terbitnya. Salinan dari tulisan itu dipajang di dalam ruangan Tugu Pers Mendur di Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
"Tanpa ada beliau, mungkin kita dan generasi setelah peristiwa bersejarah kemerdekaan Indonesia tidak bisa menyaksikan foto detik-detik proklamasi," ujar Jolly Rompas (53), pengelola Tugu Pers Mendur, yang dipercaya oleh keluarga besar Mendur untuk merawat dan mengelola bangunan dan rumah yang layak disebut museum foto tersebut.
Sebenarnya, lanjut Jolly saat ditemui di Tugu Pers Mendur, pekan lalu, selain Frans, Alex Impurung Mendur, yang tak lain adalah kakaknya, turut mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Hanya kamera Alex dirampas tentara Jepang dan dimusnahkan. Frans selesai memotret peristiwa bersejarah itu juga dikejar tentara Jepang yang menginginkan kameranya.
"Rol film milik Frans hasil jepretan pembacaan proklamasi dikubur di dalam tanah di halaman belakang kantor Asia Raja. Saat tertangkap, Beliau mengaku bahwa hasil jepretannya sudah dirampas Barisan Pelopor. Maka, selamatlah (hasil jepretan foto Frans)," tutur Jolly.
Meski demikian, hasil bidikan kamera Frans ternyata baru bisa diterbitkan enam bulan kemudian, tepatnya pada 20 Februari 1946 di halaman pertama Harian Merdeka. Cetakan foto bersejarah, entah yang keberapa kali sudah, itu abadi sampai kini. Murid-murid sekolah yang tengah belajar sejarah bisa menyaksikan detik-detik saat Bung Karno membaca teks proklamasi didampingi Bung Hatta serta pengibaran Sang Saka Merah Putih, lewat jepretan kamera Frans.
Tugu Pers Mendur diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013. Didirikan oleh keluarga besar Mendur, Tugu Pers Mendur terdiri dari patung Alex dan Frans serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu. Di dalam rumah terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara. Tugu Pers Mendur didirikan di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, di tanah kelahiran mereka.
Sebagian besar foto yang dipamerkan adalah foto pada masa awal Indonesia merdeka. Beberapa di antaranya adalah foto suasana perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda, perang gerilya Panglima Besar Soedirman, foto kabinet di bawah kepemimpinan Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia.
Menurut Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Utara Jotje Kumayas, banyak hal yang bisa diteladani dari Mendur bersaudara itu oleh wartawan masa kini, yakni semangat, keberanian, dan kegigihan mereka saat menjalankan tugas. Selain itu, keduanya rela mempertaruhkan nyawa saat bertugas memotret detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang jika ketahuan tentara Jepang ancamannya hukuman mati.
"Sebagai wartawan, mereka mempunyai sikap nasionalisme yang tinggi. Berani, pantang menyerah, dan gigih dalam tugasnya. Mereka adalah pejuang bersenjatakan kamera. Saya rasa, sifat-sifat seperti itulah yang harus diteladani oleh semua wartawan masa kini," kata Jotje.
Mendur bersaudara memang telah tiada. Namun, warisannya masih bisa disaksikan sampai sekarang. Betul ungkapan bahwa satu gambar mewakili seribu kata. Lewat bidikan kamera keduanya, generasi setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bisa belajar sejarah walau hanya lewat selembar foto yang buram.