Bawang Goreng "Gurihkan" Kota Palu

By , Senin, 18 Agustus 2014 | 21:46 WIB

Hampir 15 tahun berjalan, industri rumah tangga bawang goreng di Kota Palu, Sulawesi Tengah, bermetamorfosis menjadi usaha yang ikonik. Selain komoditasnya khas, usaha ini juga membawa dampak ekonomis yang cukup signifikan. Di samping menyerap tenaga kerja, pelaku usahanya sejahtera.

Usaha bawang goreng milik Sri Rejeki (60) misalnya, memberikan hasil nyata. Usaha yang diawali dengan coba-coba itu saat ini sudah berkembang pesat dan memberikan kesejahteraan.

Tiga anak Sri menyelesaikan kuliah berkat hasil usah bawang goreng khas Palu itu. Seorang putrinya tengah menjalani studi akhir untuk menyelesaikan pendidikan kedokteran di salah satu universitas ternama di Yogyakarta.

Bawang Goreng di Palu dinilai memiliki kekhasan. Selain wanginya lebih tajam, rasanya gurih dan keping bawangnya juga renyah. Tak hanya itu, bawang goreng ini bisa awet hingga setahun lamanya.

Pemilik usaha menyebut bawang goreng itu berbahan baku bawang batu. Bawang ini berkembang sangat baik di Lembah Palu (Kota Palu dan Kabupaten Sigi) dengan kualitas yang bagus— kandungan air sangat sedikit.

Secara keseluruhan, pemilik usaha tak memproduksi bawang goreng sebagai produk tunggal. Ada juga produk olahan lain, seperti abon sapi dan ikan, serta pelbagai jenis kue. Namun, bawang goreng merupakan produk unggulan dengan kapasitas produksi 100-300 kilogram per hari. Satu kilogram bawang goreng dijual Rp200.000.

Tak hanya mencukupi diri sendiri, Sri turut berkontribusi membantu perekonomian keluarga lain. Hingga kini, 28 orang diperkerjakan pada usaha bawang gorengnya.

"Selain membuat bawang goreng menjadi ikon Palu, sejak awal saya ingin menciptakan lapangan kerja meski tidak terlalu banyak," ujar ibu kelahiran Yogyakarta ini. Penghasilan Sri dari usahanya mencapai Rp50 juta per hari setelah dikurangi biaya operasional.

Sri bahkan memiliki relasi di Belanda. Ini mempermudah untuk memasarkan bawang goreng. Selain itu, bawang merahnya dipasarkan di Singapura dan Taiwan.

Benhart (42), karyawan Sri Rejeki, sudah merasakan dampak sosial-ekonomi bekerja pada usaha bawang goreng di Palu. Setelah 10 tahun bekerja, pada pada 2011 ia bisa membangun sebuah rumah permanen berukuran 7 x 9 meter.

"Saya datang ke Palu pada 2004 dalam keadaan kosong sama sekali. Berkat usaha ini, saya jadi bisa membangun kehidupan bersama keluarga," kata Benhart yang diupah Rp1,8 juta per bulan.

Keberlanjutan usaha bawang merah di Palu sangat bergantung pada ketersediaan bawang batu. Pada November, dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi lonjakan harga bawang batu hingga Rp60.000 per kilogram. Situasi ini dilematis, baik bagi petani maupun pemilik usaha bawang goreng.

Kepala Dinas Perdagangan, Industri, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah Kota Palu Haeriyanti A Atjo mengatakan, perhatian pada kualitas dan produksi menjadi bagian dari pembinaan usaha.