Gunung "Kapi" Krakatau

By , Rabu, 20 Agustus 2014 | 16:23 WIB

“Seluruh dunia terguncang hebat, Guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi hujan itu bukannya mematikan ledakan Gunung Kapi, justru semakin mengobarkannya; suara mengerikan; akhirnya Gunung Kapi dengan dahyat meledak berkeping-keping dan tenggelam di bagian terdalam bumi,” demikian penggalan naskah Kitab Raja Purwa.

Kitab ini ditulis pujangga Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito. Penyebutan Kapi memang membingungkan karena nama itu tidak pernah disebut dalam katalog gunung api Indonesia modern. Namun, Kapi diyakini untuk menyebut Gunung Krakatau atau dalam literature lain disebut sebagai Krakatoa.

Hanya soal waktu, letusan hebat Krakatau akan kembali berulang.

Apalagi, deskripsi lokasi tentang Kapi dalam kitab itu amat mirip letusan Krakatau pada 1883;  “Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa (Lampung) dibanjiri air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka.”

Sebagaimana didokumentasikan Simkin dan Fiske dalam buku Krakatau 1883: The Volcanic Eruption and Its Effects (1984), letusan Krakatau pada 1883 telah menghancurkan tubuh gunung, lalu memicu tsunami raksasa hingga Lampung dan Banten.

Sebelum 1883

Raden Ngabehi Ronggowarsito lahir di Surakarta, pada 15 Maret 1802 dan meninggal pada 24 Desember 1873. Jadi, hingga akhir hayat, dia tidak pernah menyaksikan letusan hebat Krakatau pada tahun 1883. Lalu, dari mana dia mendapat inspirasi perihal letusan Kapi (baca: Krakatau) itu?

Dalam pembukaan bukunya, Ronggowarsito menyebut sebagian naskah diambil dari cartatan Raja Kediri Sri Bathara Aji Jayabaya, yang terkenal dengan ramalan “Zaman Edan”-nya.

Kitab Raja Purwa sendiri diterbitkan pertama kali pada tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan Krakatau 1883. Kitab ini mengisahkan asal-usul Pulau Jawa – termasuk pemisahan Jawa dengan Sumatera karena letusan hebat Gunung Kapi.

Naskah Raja Purwa kerap menjadi referensi para dalang. Namun, kitab ini ternyata juga dirujuk oleh Arthur Wichman untuk menyusun katalog tentang gempa di Nusantara (1918).

Disebut dalam katalog Wichmann yang diambil dari Raja Purwa, “Di tahun Saka 338 (416 Masehi) gempa bumi terjadi di Jawa dan Sumatera saat Pulau Krakatau meletus. Sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang dijawab dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi (Krakatau).”

Bagaimana jika informasi Ronggowarsito soal letusan Gunung Krakatau ini sebenarnya bukan ramalan, melainkan sebuah catatan peristiwa alam yang memang pernah terjadi?

Belakangan, vulkanolog meyakini bahwa sebelum 1883, Krakatau purba pernah meletus hebat, bahkan lebih dahsyat lagi. Setelah letusan itu, dari bekas Kaldera Krakatau purba muncul tiga pulau gunung api, Rakata, Danan, dan Perbuatan, yang kemudian hancur kembali saat letusan 1883.

Kitab Raja Purwa menjadi bukti bahwa masyarakat Nusantara ternyata merekam peristiwa alam pada masa lalu dengan rinci. Pelajaran penting lainnya, apa yang pernah terjadi pada masa lalu pasti aka berulang kembali.

Pada 27 Agustus 2014, tepat 131 tahun sejak letusan Krakatau yang menewaskan 36.000 orang itu terjadi. Hanya soal waktu, letusan hebat Krakatau akan kembali berulang. Maka, di saat Anak Krakatau masih membangun tubuhnya sebagaimana leluhurnya, kesiapsiagaan menjadi keharusan!