Dari Pontianak, Madame Pfeiffer Menyelisik Tambang Intan di Mungguk

By , Kamis, 21 Agustus 2014 | 21:00 WIB

“Pontianah,” demikian Ida Pfeiffer menyebut Kota Pontianak, “adalah permukiman Belanda di Timur yang pertama kali saya datangi.” Kemudian dia melanjutkan bercerita, “Saya mengakui, memasuki kawasan ini dengan segenap perasaan tak nyaman.”Ida telah melewati perjalanan panjang di daerah pedalaman yang belum dipasifikasi Kapten Brooke—sang penguasa Sarawak. Dari Sarawak, usai menyaksikan trofi kemenangan perang berupa dua kepala manusia yang baru saja ditebas, Ida melanjutkan perjalanan melancongnya ke Pontianak. Dia melewati jalanan setapak menuju Beng-Kallang Boenoet (Pangkalanbun, kini Ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Saat itu daerah Pangkalanbun belum diklaim sebagai teritori Hindia Belanda. Sultan memberikan bantuan kepada Ida sebuah perahu kecil untuk perjalanan berikutnya.

Permukiman desa di Pangkalanbun awal abad ke-20. Dalam perjalanan ke Pontianak pada 1852, Ida Pfeiffer melewati jalanan setapak menuju Beng-Kallang Boenoet (Pangkalanbun). (Tropenmuseum/Wikimedia)

Setelah menyusuri Sungai Kapuas, dia bermalam di Sintang. Baru empat hari kemudian dia tiba di Pontianak pada 6 Februari 1852.Gambaran tentang Belanda di mata para pelancong lainnya—dan juga Ida— saat itu adalah negeri yang tidak ramah dan sulit mendapatkan akses masuk. Tampaknya itulah yang menjadi alasan ketidaknyamanannya ketika menjejakkan kaki di Hindia Belanda. “Begitu acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan kepentingan yang berkaitan dengan uang mereka.”

!break!
Wisma Residen Pontianak pada 1940-an. Barangkali Ida Pfieffer menginap di rumah ini. Dia diterima oleh istri residen pada Februari 1852, dan diminta bermalam di rumahnya. (Tropenmuseum/Wikimedia)

“Tidak ada hotel atau penginapan, dan sangat sedikit orang Eropa yang berkunjung ke Borneo,” ungkapnya. Namun, dia beruntung bisa bertemu dengan Nyonya T.J. Wilier, istri seorang Residen Pontianak, yang mempersilakannya bermalam di rumahnya. “Sebuah undangan yang saya terima dengan senang.”

Tujuan Ida di Pontianak adalah menyaksikan tambang intan di Landak—dia menyebutnya dengan “Landah”. Kini, jarak Pontianak-Landak sekitar 150 kilometer, namun pada zaman itu bisa mencapai dua kali lipatnya—separuhnya ditempuh dengan jalan kaki.  Ida kerap menolak saran pejabat setempat untuk menggunakan pemandu. Dia hanya memohon dibekali surat jalan yang ditujukan untuk penguasa atau raja di kawasan yang akan dilaluinya. Ida, bersama pendayung perahu, berangkat ke Landak dengan menyusuri sungai ke arah hulu.

Rumah Panjang di perkampungan Dayak di Landak pada awal abad ke-20. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Ketika bermalam, Ida memastikan surat-surat jalannya tidak hancur akibat dimakan semut. Dia punya kebiasaan untuk mengumpulkan spesimen serangga untuk dijual kepada kolektor pribadi atau museum di Wina. “Barang-barang yang dapat dimakan harus dapat diselamatkan dari kerusakan dengan cara memasukkan semut itu ke dalam wadah kaleng tertutup.”   Sekitar 2.500 spesimen telah menjadi koleksi Ida dalam perjalanan keliling dunia ini. Sebagian koleksinya seperti udang, siput, kumbang yang menghuni Kalimantan. Dunia ilmu pengetahuan mengabadikan nama perempuan itu dalam spesimen temuannya dengan imbuhan “ideae” atau “pfeifferi”.!break!

“Landah, seperti kota-kota Melayu pada umumnya, terdiri atas berbagai pondokan yang tak beraturan; dekat sungai, dihuni oleh seribuan warga,” kata Ida. “Di situ duduk seorang Panam-bakan.”  Sayangnya, sampai di tempat tujuan tambang intan terbesar itu tak menghasilkan lagi.

“Intan berlian Borneo,” ungkapnya, “bahkan di tempat intan itu ditemukan, dihargai dengan harga yang sangat tinggi.”

Akhirnya, suatu pagi pada 18 Februari 1852, Ida bersama seorang pejabat di Landak menyusuri sungai menuju tambang intan di Mongo, demikian dia menyebut Desa Mungguk di Kalimantan Barat. Lebih dari 160 tahun sejak kedatangan Ida di desa itu, pertambangan intan ilegal masih berlangsung di Mungguk. Sampai hari ini pun lokasinya pun masih terhitung sebagai pedalaman Kalimantan. “Beberapa keranjang yang penuh tanah dicuci,” ungkapnya. “Namun hanya ketemu dua intan seukuran kepala peniti.” Pejabat setempat yang turut menemaninya, mengizinkan Ida untuk mengambil tanah, mencucinya, dan mempersilakan mengambil apapun temuannya. Namun, Ida menolak dengan alasan, “Saya tidak datang ke sini untuk mencari intan berlian, melainkan untuk melihat tambangnya.”

Ida memang mempunya gaya melancong tersendiri. Tidak seperti gaya pelancong sekarang yang umumnya lebih mengutamakan daftar belanjaan dan oleh-oleh, tampaknya Ida Pfeiffer melancong untuk menyelami lebih dekat dengan peradaban setempat—geotraveling. “Banyak tempat di kawasan yang menghasilkan intan, selain di Mongo,” ungkapnya, “dan semuanya memiliki intan di atas tiga karat.” Namun demikian, Ida juga melaporkan bahwa di mana pun intan itu ditemukan, semuanya harus dijual kepada pangeran setempat yang biasanya memberikan imbalan berupa barang—suatu cara berdagang yang tentunya sangat memberikan keuntungan besar bagi penguasa.“Intan berlian Borneo,” ungkapnya, “bahkan di tempat intan itu ditemukan, dihargai dengan harga yang sangat tinggi.”

Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Dia mengenakan penutup kepala dari Bali, yang lapisan dalamnya berupa daun pisang. Dia juga tetap memakai gaun, namun di atas pantalon pendeknya. Ketika perjalanan hujan, menunggang kuda, belum lagi ketika menyeberang sungai, gaun panjang bisa menjadi bencana. Ida membawa jaring dan wadah berselempang untuk spesimen serangga. Litografi oleh Adolf Dauthage. (Mary Somers Heidhues/Archipel)

Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.

“Dia punya jantung yang dapat berdenyut untuk seluruh dunia.”

Pada 170 tahun silam, catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfieffer pertama kali diterbitkan di Wina. Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.

Seorang penyair kotemporer asal Austria, Lieselotte “Lotte” Stiegler, mencoba membandingkan Ida dengan para pelancong perempuan masa kini.  “Apakah ada perubahan cara melancong bagi perempuan zaman sekarang?” demikian tanya Lotte. “Apakah mereka terdorong untuk meneliti sesuatu kala melancong? Bagaimana transportasi bagi perempuan saat ini dan tanggapan atas pengalaman mereka tentang budaya asing?”“Pada pertengahan abad ke-19, melancong bukan merupakan kodrat perempuan.” Kesimpulan Lotte, “Dia punya jantung yang dapat berdenyut untuk seluruh dunia.”