Perang menyisakan duka dan kerugian yang tidak ternilai harganya. Selain kemanusiaan, perang juga meninggalkan luka pada dunia arsitektur.
Salah satu bangunan yang harus menjadi korban perang di Jalur Gaza adalah Bandar Udara Internasional Yasser Arafat di Rafah. Nama bandara tersebut memang belum sempat mengemuka.
Seperti dikutip Daily Mail, bandara yang tidak pernah sempat membagi kemegahannya pada turis dunia itu semula dibangun pada 1998, tepatnya pada November 1998. Penduduk di Jalur Gaza berbondong-bondong menyaksikan sejarah dan harapan mereka diwakilkan oleh bandara tersebut.
"[Bandara] ini mungkin tampak seperti bandara kecil bagi Anda, tapi bagi kami, ini lebih besar ketimbang [bandara] John F Kennedy," ujar Nabil Shurafa, agen perjalanan setempat pada The New York Times saat pembukaannya.
Bandara yang rampung satu tahun sebelum pembukaannya ini sudah diantisipasi sebagai jendela Gaza menuju dunia.
Karena menyadari posisi strategisnya, Mesir, Jepang, Arab Saudi, Spanyol, Jerman, dan negara Uni Eropa lainnya turut berkontribusi membangun bandara ini. Para arsitek Maroko pun turun tangan merancang mozaik yang ada pada dinding bandara.
Bandara tersebut berdiri berkat Perjanjian Oslo II tahun 1995. Seharusnya, bandara tersebut menjadi lambang yang kuat bagi Palestina. Seremoni pembukaannya pun sudah mendatangkan salah satu pemimpin dunia paling berpengaruh, Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton.
Sayangnya, kerusuhan mengemuka tak jauh dari lokasi bandara. Bahkan, bandara pun juga menjadi korban penghancuran.
Daily Mail menyatakan, bom Israel menghancurkan menara bandara. Buldozer pun meluluhlantakkan dinding bandara. Jet F16 menghancurkan pusat radar dan sistem kamera keamanan bandara.
Tragedi yang terjadi pada 2001 itu hanya tiga tahun setelah penduduk setempat merayakan harapannya. Bandara itu lalu diserang Israel sebagai tindakan balasan atas tewasnya empat tentara mereka.
Kini, siapa pun bisa menyaksikan reruntuhan bandara.
Berbagai usaha pembangunan kembali bandara tersebut sebenarnya sudah dilakukan.
Selain membangun kembali simbol kedaulatan, kehadiran bandara ini juga ditimbang memiliki kepentingan ekonomi.
Sayangnya, hal itu terhambat pertimbangan Pemerintah Israel yang melihat kehadiran bandara hanya akan memberikan keuntungan bagi diplomat dan pesohor. Bandara tersebut tidak memiliki kontribusi penting bagi ekonomi Palestina.