Kesaksian Pelancong tentang Kehidupan Sosial Pontianak Abad Ke-19

By , Jumat, 22 Agustus 2014 | 21:00 WIB

“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida Laura Reyer Pfeiffer. “Situasi kota tampak segala sesuatunya menyenangkan,” ujarnya meskipun tiada satu pun hotel atau penginapan. Ida, seorang perempuan tomboi asal Austria, melanglang buana hingga ke Hindia Belanda pada 1852. Dia berjejak di Pontianah, demikian sebutan Kota Pontianak dalam catatan perjalanannya.   Selama Februari-April dia berada di kota kecil itu dan sekitarnya.

"Waktu yang saya miliki selama di Pontianah telah saya gunakan sebaik-baiknya," ungkapnya. Dia menantang teriknya matahari mencari serangga untuk koleksi spesimennya. "Saya menggunakan kesenangan yang kekanak-kanakan dengan berjalan kaki ke persimpangan khatulistiwa, lokasinya tak jauh dari pusat Pontianah." 

Kota Pontianak terletak sekitar 20 kilometer dari bibir pantai. Sehamparan dataran, tanpa tanaman padi, dan terlindung dari pepohonan rapat. Di dekat kota terdapat sebuah benteng yang dikelilingi dinding tanah, yang dijaga sekitar 130 serdadu. Pemerintahan Eropa dibentuk oleh residen, yang didukung sekitar enam pejabat, beberapa perwira militer, dan seorang dokter. Ketika Ida bertandang ke Pontianak, penduduk kota itu sekitar enam ribu jiwa.

Tugu Khatulistiwa di Pontianak, yang dibangun pada 1928. Foto sebelum 1950. Ida kerap berjalan kaki di sekitar tempat ini pada 1852. (Tropenmuseum/Wikimedia)

“Tempat tinggal Sultan menghadap pantai,” demikian kata Ida, yang mungkin maksudnya adalah tepian Sungai Kapuas yang bermuara di lautan lepas. Dia juga membandingkan para pangeran di India dan pangeran Kalimantan. Satu-satunya perbedaan. menurutnya, pangeran di Kalimantan meminta bantuan Belanda atas kemauan mereka sendiri, yang sejatinya bertentangan dengan keinginan mereka.

“Para pangeran Borneo tidak memiliki kekuatan,” ungkapnya. “Di satu sisi untuk menyelesaikan perselisihan antara warga Melayu, Cina, dan Dayak; sementara di sisi lain mengurangi konspirasi yang kerap terjadi dalam keluarga mereka sendiri.” Oleh karena itu, demikian ungkap Ida, mereka rela menerima beban atau kewajiban dari pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi kepentingan mereka. "Banyak sultan dan pangeran yang mendapatkan pensiun dari Belanda, sebagai kompensasi hak mereka yang telah dicabut."

!break!

“Mereka meninggalkan kedamaian di tanah mereka lewat berbagai pajak, pencucian emas dan tambang intan di wilayah mereka,” demikian ungkapnya. “Namun, Belanda mengklaim punya monopoli garam dan penerimaan dari opium, juga komoditi lainnya” Di Pontianak pertengahan abad ke-19, selain kelas ningrat, ada juga kelas budak. Ida memaparkan bahwa para budak diambil dari tahanan perang, dan para penghutang yang tak melunasi hutangnya. Juga bagi siapa saja yang selama tiga tahun tidak membayar pajak kepada sultan akan menjadi budaknya, catat Ida. “Menurut hukum yang barbar,” ungkap Ida menggambarkan, “penghutang harus bersedia mengabdikan dirinya sebagai budak kepada pemberi hutang, sampai hutangnya lunas.” Kemudian Ida menambahkan, “Apabila penghutang tadi mati sebelum lunas, istri, anak, atau keluarga dekatnya akan menggantikan posisinya.”  Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.

Ida Laura Reyer Pfeiffer mengenakan syal dan kain renda. Ida sangat ingin mengatasi keterbatasannya sebagai seorang wanita dari abad ke-19, tetapi dia tidak sepenuhnya menentang kodratnya. Globe di latar belakang menambah sentuhan ilmiah. (Mary Somers Heidhues/Archipel/Wikimedia)

Dia merupakan perempuan tomboi yang gemar melancong sendiri, mengarungi samudra sejauh 240.000 kilometer, dan 32.000 kilometer perjalanan darat di empat benua! Kisah perjalanannya di Kalimantan tampaknya yang paling menarik karena sampai dicetak ulang hingga lima kali, selama 1880-an hingga 1906. "Bahwa sesoenggoehnja adalah seorang orang perempoean, yang bernama Ida, anak ditanah Eropah; maka terlaloe amat soeka perempoean itoe pergi melihat-lihat negeri-negeri, akan mengetahoei 'adat lembaganja, dan tabi'at masing-masing bangsa manoesia; maka apaapa yang dilihatnja atau didengarnja, sekaliannja disoeratkannjalah, soepaja akan dibatja oleh sekalian orang, dengan maksoed, pertama akan menambah pengetahoean mereka itoe, kedoea akan menghiboer-hiboerkan hati mereka itoe djoea adanja."Demikian kutipan sebuah buku berjudul Kesah pelajaran kepoelau Kelemantan, yang diterbitkan di Batavia pada 1888. Seorang penjelajah Kalimantan melaporkan bahwa buku perjalanan Madame Pfeiffer dalam bahasa Melayu telah menjadi salah satu buku bacaan anak-anak sekolah pada akhir 1940-an!

Tahun ini, tepat 170 tahun silam, catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfieffer pertama kali diterbitkan di Wina, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci). Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.