Pemerintah AS tentu telah berupaya untuk menyelamatkan James Foley sebelum ia dieksekusi militan ISIS yang kini berganti nama menjadi Negara Islam. Sejumlah laporan di media AS sebelumnya mengatakan, sebuah serangan rahasia pasukan komando telah dilakukan dalam upaya untuk menyelamatkan wartawan Amerika itu dan sejumlah sandera lainnya. Namun, serangan tersebut gagal karena para sandera itu tidak berada di lokasi yang dituju.
Laporan terbaru media AS menyebutkan, ada satu taktik yang pemerintah negara itu tidak coba, yaitu membayar uang tebusan. David Rohde, seorang wartawan yang disegani yang bekerja untuk Atlantik dan kantor berita Reuters, menyinggung hal itu pada Rabu (20/8), ketika ia bertanya-tanya apakah kebijakan luar negeri AS menolak bernegosiasi dengan para penculik telah gagal untuk kasus Foley. Rohde menunjukkan bahwa sejumlah wartawan dari negara lain rupanya telah dibebaskan setelah pemerintah mereka membayar sejumlah besar uang kepada ISIS, sesuatu yang ditolak Pemerintah AS (meskipun perorangan dan lembaga mungkin melakukannya).
Rohde tahu benar apa yang bicarakannya. Sebagai seorang wartawan yang bekerja di Afganistan pada 2008, ia ditangkap Taliban dan ditahan selama tujuh bulan. Tidak ada uang tebusan yang dibayarkan, tetapi ia akhirnya berhasil melarikan diri. Argumennya ditopang laporan kantor berita Associated Press bahwa ISIS meminta kepada keluarga Foley uang tebusan sebesar 133 juta dollar AS (atau Rp 1,5 triliun), tetapi tampaknya permintaan itu ditolak Pemerintah AS.
Ini bukan soal angka. Seratus juta dollar adalah uang yang banyak, tetapi nyawa tak ternilai harganya. Walau AS umumnya menolak untuk bernegosiasi dengan para penculik, pada saat-saat tertentu, itu dilakukan, seperti yang terjadi pada pertukaran Sersan Bowe Bergdahl dengan lima komandan Taliban belum lama ini. Namun, argumen Pemerintah AS tidak membayar uang tebusan sangat jelas: penolakan itu akan menyingkirkan motif utama untuk menculik warga negara asing dan menstop kaum teroris atau kelompok kriminal dari kemungkinan mendapatkan dana dalam jumlah besar.
Ketika berbicara di Chatham House yang berbasis di London pada 2012, David Cohen, wakil menteri urusan terorisme dan intelijen keuangan di Departemen Keuangan AS, menjelaskan logika AS terkait penculikan dan uang tebusan. "Pembayaran uang tebusan menyebabkan penculikan pada masa depan dan penculikan pada masa depan pada gilirannya menyebabkan pembayaran uang tebusan yang semakin besar. Semua itu membangun kapasitas organisasi teroris untuk melakukan serangan," kata Cohen. "Kita harus menemukan cara untuk memutus siklus tersebut. Menolak untuk membayar uang tebusan atau membuat konsesi lain dengan teroris adalah cara terbaik untuk memutus siklus itu. Sebab, jika para penculik secara konsisten gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka akan punya insentif kuat untuk berhenti melakukan penyanderaan."
Menurut Washington Post, secara resmi, sebagian besar pemerintah menganut teori itu. Namun, dalam praktiknya, Amerika Serikat dan Inggris tampak tidak konsisten dalam penolakan mereka membayar uang tebusan, dan banyak negara lain tampaknya menemukan celah. "Walau Prancis mengklaim bahwa mereka tidak membayar uang tebusan secara langsung, tampaknya uang itu disalurkan melalui atasan dari orang-orang yang disandera. Atasan itu kemudian bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran," kata Martin Michelot, pegawai di German Marshall Fund's Paris.
Berdasarkan investigasi New York Times baru-baru ini, Perancis telah menyalurkan 58 juta dollar AS bagi pembayaran uang tebusan sejak tahun 2008. Itu merupakan jumlah terbesar dibanding negara mana pun. Jumlah itu diikuti Swiss sebesar 12,4 juta dollar dan Spanyol sebanyak 5,9 juta dollar, lapor Times. Tindakan membayar tebusan itu mungkin memang berdampak bagi negara-negara yang melakukannya. Tahun lalu, misalnya, ada lebih banyak sandera Prancis di seluruh dunia dibanding negara-negara lainnya, walau hal itu juga mungkin akibat intervensi Perancis di luar negeri, di tempat-tempat seperti Mali dan Libya. Setidaknya satu orang warga Perancis yang disekap bersama Foley.
Di negara-negara yang membayar uang tebusan, tampak ada perasaan yang campur aduk tentang praktik tersebut. Tahun lalu Presiden Perancis Francois Hollande mengatakan kepada keluarga para sandera yang ditahan di wilayah Sahel Afrika bahwa tidak akan ada lagi uang tebusan yang dibayarkan, meskipun beberapa bulan kemudian ada laporan di media Prancis tentang adanya uang dalam jumlah lebih banyak yang dibayarkan.
Jerman juga mempertanyakan pembayaran uang tebusannya untuk para teroris. "Kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita bisa hidup dengan fakta bahwa uang yang kita bayarkan sebagai tebusan bagi para sandera dapat digunakan untuk membeli senjata yang bisa membunuh tentara kita di Afganistan," kata seorang pakar keamanan Pemerintah Jerman dalam sebuah wawancara di surat kabar pada 2007.
Negara-negara di mana para sandera ditahan juga kadang-kadang mengeluh tentang uang tebusan. "Yaman berulang kali menolak untuk menangani pembebasan sandera yang diculik dengan pembayaran uang tebusan bagi para penculik," kata Menteri Luar Negeri Yaman, Abu Bakr al-Qirbi, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Arab Saudi Asharq al-Aswat tahun lalu. "Kami tidak ingin hal ini akan membuat banyak orang asing di Yaman menjadi sasaran penculikan karena para penculik lainnya akan berusaha untuk mendapat uang tebusan juga," kata Qirbi.
Jadi, mengapa harus membayar uang tebusan? Yang mengerikan dari kematian Foley adalah mengapa tidak membayar tebusan. Segelintir politisi ingin menjelaskan kepada keluarga bahwa mereka bisa menyelamatkan sandera, tetapi mereka tidak melakukan itu. Risiko politik untuk itu juga sangat besar.
Sebaliknya, kematian Foley menunjukkan bahwa logika menolak uang tebusan tidak selalu berfungsi. Seorang warga AS telah disandera dan disekap selama hampir dua tahun, walau AS terkenal karena penolakannya membayar tebusan. Jika laporan tentang permintaan uang tebusan 133 juta dollar benar, hal itu akan menunjukkan bahwa ISIS tidak benar-benar berharap agar dibayar. Tampak bahwa bahkan tanpa tebusan, seorang sandera AS tetap berharga.