Artefak Banyak Rusak karena Pemahaman Konservasi Rendah

By , Senin, 25 Agustus 2014 | 19:15 WIB

Rendahnya kesadaran dan minimnya pengetahuan tentang konservasi menyebabkan banyak artefak tidak dirawat secara benar dan akhirnya rusak. Selain masyarakat umum, juru pelihara situs di sejumlah daerah juga masih ada yang belum memahami upaya dan teknik konservasi.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan mengatakan, salah satu contoh ketidakpahaman teknik konservasi terjadi di Jayapura, Papua.

Di situs di tepi Danau Sentani di kota tersebut, terdapat banyak batu peninggalan cagar budaya bergambar lukisan kuno di permukaannya. Namun, saat mengunjungi lokasi itu beberapa waktu lalu, Kacung menemukan batu-batu tersebut kini berwarna hitam sehingga lukisan kuno tersebut tidak lagi terlihat jelas.

”Setelah ditelusuri, ternyata batu tersebut berubah warna menjadi hitam karena juru pelihara situs sengaja membakarnya,” ujarnya dalam paparan di seminar memperingati 200 tahun Candi Borobudur yang bertema ”Membangun Ketahanan Budaya dan Pariwisata, untuk Memperkokoh Ketahanan Nasional”, di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (22/8).

Pembakaran itu dilakukan dengan alasan yang menunjukkan ketidakpahaman pemelihara situs. Juru pelihara beralasan, pembakaran dia lakukan sebagai upaya untuk membersihkan batu-batu tersebut.

Salah pahamDi tempat lain, sejumlah artefak justru dirusak. Adanya kesalahpahaman tentang sejarah, misalnya, mengakibatkan beberapa kelompok masyarakat membongkar makan Sultan Hasanuddin di Makassar. Adapun di Yogyakarta, beberapa orang membongkar makam salah satu anggota keluarga kerajaan.

Kacung mengatakan, jumlah juru pelihara di Indonesia masih sangat terbatas. Di Kalimantan hanya terdapat satu juru pelihara yang menjaga ratusan situs yang ada di dalamnya.

Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah Sri Ediningsih mengatakan, karena tidak paham tentang konservasi, masyarakat juga pernah mengganti ubin keramik di Masjid Agung Demak. Upaya penggantian keramik ini dilakukan tanpa pendampingan dan tanpa memberi tahu BPCB Jawa Tengah.

”Penggantian keramik ini membuat Masjid Agung Demak menjadi sedikit berubah, berbeda dengan kondisi bangunan saat didirikan pada abad ke-15 Masehi dulu,” ujarnya.

PemanfaatanSelain mengabaikan masalah konservasi, masyarakat juga tidak memanfaatkan situs atau cagar budaya secara benar. Di Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar, misalnya, masyarakat pernah menyelenggarakan pentas musik di zona 1 candi.

Padahal, zona 1 candi semestinya menjadi areal khusus pelestarian situs. Masyarakat hanya diizinkan beraktivitas mulai dari zona 2 hingga seterusnya.