13 Tahun Setia Menjaga Maleo...

By , Senin, 1 September 2014 | 12:05 WIB

Siang itu, Tomo Lumamay (48), lelaki berpostur kecil menenteng tas pinggangnya turun dari rumah sederhana yang menjadi Pos Penelitian Maleo di Muara Pusian, Desa Pusian, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow. Dia menuju ke tepi sungai, tempat nesting ground (lokasi bertelur) yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Di tepi sungai itu terdapat area berpasir yang secara rutin disinggahi burung Maleo (Macrocephalon maleo) untuk meletakkan telurnya. "Maleo yang ada di TNBNW merupakan jenis yang dilindungi undang-undang konservasi karena populasinya terancam," ujar Project Manager Wildlife Conservation Society (WCS) Maleo Project, Iwan Honuwu, Senin (1/9). Menurut Iwan, jenis Maleo yang ada di TNBNW merupakan endemik Sulawesi. Populasinya terancam karena dulu telurnya diambil untuk dijual. Ukuran telurnya yang raksasa membuat nilai jual sebutir telur Maleo menjadi mahal. Walau hanya lulusan sekolah dasar, Tomo menguasai betul seluk beluk dan tingkah laku burung yang terancam punah itu. Betapa tidak, Tomo dipercaya WCS menjadi penjaga Maleo dan kini dia sudah 13 tahun dia menjaga Maleo. "Sejak tahun 2001, setiap hari saya harus memeriksa nesting ground, dan jika ada telur saya harus mencatat jumlahnya, memberi nomor, menimbang beratnya dan mengukur besarnya," kata Tomo. Telur-telur yang didapatnya dari lubang kemudian dipindahkannya ke hatchery—tempat khusus penetasan yang sengaja dibuat oleh WCS. Hatchery itu terletak sekitar satu kilometer dari nesting ground."Ini merupakan semacam kandang untuk melindungi telur Maleo dari predator, termasuk dari kemungkinan pencurian manusia," kata Tomo. Dengan cekatan dia lalu menggali lubang yang ada di hatchery untuk meletakkan dua butir telur Maleo yang siang itu didapatnya. Lubang-lubang itu sudah diberi nomor agar Tomo tahu mana lubang yang sudah ada telurnya dan mana yang masih kosong."Saya harus menggali dengan kedalaman yang tepat, sebab telur Maleo akan berhasil menetas pada suhu 34 sampai 35 derajat celcius," papar Tomo layaknya seorang ahli.!break!

Menurut Tomo, telur yang didapatnya hari itu merupakan telur yang ke 5.135 dan 5.136 sejak dia dipercaya menjadi penjaga Maleo. Dulunya, Tomo merupakan pemburu telur Maleo, tapi kini justru dialah yang setia menjaga agar Maleo, masih bisa bertahan di habitat aslinya.Pekerjaannya sekarang mengharuskan dia setiap hari dua kali mengamati nesting ground, berkeliling di spot-spot tempat Maleo bertelur. Di samping itu dia juga harus mengamati hatchery, dan melepas anak Maleo yang keluar dari lubang penetasan ke alam bebas. Semuanya dicatat Tomo tanpa terlewati. Catatan harian Tomo merupakan referensi yang sangat berharga. Lewat catatan itulah dia mengetahui dengan persis kapan puncaknya Maleo datang bertelur. Tak heran, dia serta catatan hariannya dijadikan sebagai bahan utama penelitian para ahli yang datang di Muara Pusian."Dia sudah seperti pakar Maleo, dia mengetahui dengan persis tingkah laku burung itu. Informasinya sangat membantu, saya salut dengan pengetahuannya," ujar Toar Pantouw, fotografer FORUM F/21 yang datang ke Muara Pusian. Maleo merupakan burung khas yang ketika akan bertelur, sepasang Maleo akan mencari tempat yang bisa digali untuk mengubur telurnya. Mereka akan mencari tempat yang bisa menghasilkan panas, karena mereka tidak mengerami telurnya. Nesting ground di Muara Pusian merupakan salah satu lokasi ideal bagi Maleo untuk bertelur. Pengabdian Tomo terhadap pelestarian Maleo patut diberi apresiasi. Bersama istrinya, dia setia tinggal di tengah hutan Desa Pusian untuk terus menjaga burung-burung itu."Saya bahagia menjadi bagian dari project ini, anak-anak tinggal di kampung, saya dan istri tinggal di sini," ujar Tomo. WCS Maleo Project secara rutin setiap bulan mennyalurkan kebutuhan hidup Tomo dan keluarganya. "Tidak banyak, tapi kami merasa cukup untuk tetap hidup," kata Tomo.Selain di Muara Pusian, WCS Maleo Project juga mempunyai pos penelitian di Desa Tambun yang juga berada dalam kawasan TNBNW, serta di Tanjung Binerean, Desa Mataindo Utara, Kecamatan Pinolosian Tengah, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan yang sudah tidak masuk kawasan TNBNW. "Satu lagi ada di Hungayano, Gorontalo," kata Iwan.