Budaya Pop Bernilai Ekonomi, tapi Kurang Digarap

By , Selasa, 2 September 2014 | 12:34 WIB

Berbagai bentuk kesenian dalam ranah budaya pop merupakan ladang kreativitas luas, seperti seni grafiti, mural, komik, seni kontemporer, film, animasi, musik, dan sebagainya.

Apalagi, dengan latar keragaman suku, kelimpahan seni tradisi, dan daya kreativitas tinggi, budaya pop Indonesia berpeluang memiliki nilai ekonomi kreatif, seperti di Korea. Namun, potensi itu tidak digarap serius.

"Saya lihat grafiti masih banyak di Jakarta. Di Korea, tidak lagi terlihat grafiti, tetapi seniman-seniman grafitinya berhimpun dan banyak mengerjakan dekorasi interior gedung atau mural," kata Jeong-Ok Jeon dari Korea dan kurator pada Pusat Manajemen Seni dan Komunitas (Arcolabs) Universitas Surya, Tangerang Selatan, Sabtu (30/8) di Jakarta.

Jeong juga kurator pameran seni rupa New Icon: Pop in Asia di Galeri Salihara. Pameran itu untuk memperingati 25 taun hubungan ASEAN-Korea. Para peserta dari 10 negara anggota ASEAN dan Korea. Menurut Jeong, Pemerintah Korea berhasil memajukan budaya pop Korea hingga dikenal hampir di semua negara Asia. "Pemerintah Korea mendukung upaya-upaya strategis memajukan budaya pop," kata Jeong.

Dalam rangkaian peringatan 25 tahun hubungan ASEAN-Korea, akhir pekan lau, diselenggarakan diskusi "Kajian Budaya Popular dan Grafiti: Menuju Masa Depan Budaya Popular Indonesia". Salah satu narasumber, Eka Wenats Wuryanta dari Universitas Paramadina mengemukakan, Korea merupakan produsen budaya pop paling produktif dan menonjol di Asia.

"Produk budaya pop Korea memang didorong pemerintahnya untuk keluar," kata Eka.

Ardyansyah dari Studio Multimedia dan Animasi Universita Surya memaparkan tema "Animasi Indonesia dalam Pergulatan". Dikatakan, demokratisasi teknoloi membuat animasi berkembang. "Tetapi nasib animasi masih sekadar tontonan anak-anak," ujar Ardyansyah.