“Dua puluh tahun dari sekarang, akan terjadi penurunan lapangan kerja utamanya di bidang dengan skill-set rendah. Saya kira banyak yang belum menyadari hal tersebut” ungkap Bill Gates dalam sebuah kesempatan.
Dua peneliti dari MIT, Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee, juga mengungkapkan hal yang sama. Dalam buku The Second Machine Age, duo ini menulis meningkatnya kemampuan komputasi, koneksi antar perangkat, serta kemampuan mesin untuk “belajar”, menjadikan robot memiliki kemampuan yang sangat besar. Begitu besarnya sehingga mampu mengubah dunia, sama seperti yang dilakukan mesin uap dan listrik di masa lalu.
Namun berbeda dengan dua teknologi di masa lalu tersebut, robot memiliki kemampuan berpikir—modal manusia untuk melakukan pekerjaan. Ketika kemampuan berpikir itu bisa digantikan teknologi atau robot, kebutuhan akan tenaga kerja manusia pun menjadi turun.
Sebenarnya, ketakutan akan hilangnya kesempatan kerja karena digantikan robot bukan hal yang baru. Tahun 1930, ahli ekonomi AS, John Maynard Keynes mengatakan hal yang sama. “Perkembangan teknologi akan melaju lebih cepat dibanding kemampuan kita menyediakan pekerjaan untuk manusia” ungkap Keynes. Namun seperti kita pelajari dari sejarah, otomisasi yang terjadi di pabrik-pabrik tidak menyebabkan penurunan pekerjaan.
Namun menurut Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee, kondisi saat ini berbeda dibanding masa lalu. Sistem ekonomi saat ini menuntut setiap perusahaan mencari cara paling efisien untuk meningkatkan keuntungan. Seperti contoh di atas, Nike rela memindah pabriknya ke negara dengan tenaga kerja yang murah. Namun ketika tenaga kerja murah tersebut bisa digantikan robot yang tidak pernah capek serta demo menuntut kenaikan upah, mudah untuk memahami mengapa Nike mengalihkan perhatiannya ke teknologi robot.
Revolusi Pendidikan
Akan tetapi, tidak semua orang percaya robot akan menggantikan manusia. Pew Research Center baru-baru ini mengadakan survei yang menanyakan perkembangan teknologi robot dan efeknya pada lapangan pekerjaan di 2025 nanti. Ternyata, 52% responden mengatakan kehadiran robot justru akan membuka lapangan kerja baru yang lebih besar bagi manusia. Dan karena responden survei itu adalah 1900 pakar di bidang robot, keyakinan itu layak membuat kita semua lega.
Namun ada catatan penting dari keyakinan tersebut. Yaitu, kebutuhan kerja di masa depan membutuhkan skill-set yang berbeda. Kita tidak lagi bisa mengandalkan upah murah karena suatu hari robot akan semakin ekonomis. Kita juga tidak bisa mengandalkan semangat kerja tinggi karena robot bisa bekerja 24 jam tanpa henti. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengoperasikan robot tersebut. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk membuat robot tersebut. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk berpikir kreatif dan imajinatif.
Intinya, dibutuhkan perbaikan ketrampilan yang membuat manusia lebih unggul dibanding robot.
Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana kita bersiap menghadapi era tersebut? Pendekatan akademik adalah salah satunya. Kita tidak bisa lagi menggunakan sistem pendidikan yang cuma mendorong kemampuan menghapal. Kita harus mempersiapkan generasi mendatang dengan sistem pendidikan yang berbasis teknologi sekaligus memicu kreativitas.
Jika tidak, nasib kita akan digerus oleh para robot. Jangan sampai di masa depan, robot seperti SaviOne sibuk melayani kita, sementara kita sendiri hanya bengong gara-gara tidak memiliki pekerjaan.
(Disarikan dari artikel Ketika Manusia Bersaing dengan Robot di InfoKomputer edisi Juli 2014)