"Terima kasih Anda telah memilih Qatar Airways. Kita akan terbang sekitar 14 jam, menuju Washington D.C. Ini penerbangan yang sangat panjang." Dari ruang kemudi, kapten pilot Qatar Airways dengan nomor penerbangan QR 707 menyambut para penumpang yang sudah duduk di kursi masing-masing.
Setelah tiga jam singgah di Bandara Internasional Hamad, Doha, penerbangan saya kembali berlanjut menuju Washington D.C, ibu kota Amerika Serikat. Buat saya, ini pengalaman pertama memakai jasa penerbangan maskapai yang tercatat sebagai perusahaan negara Qatar itu. Maskapai ini baru berdiri pada akhir 1993, dan memulai bisnisnya pada awal 1994. Ya, karena dimiliki negara kaya, pertumbuhan bisnis maskapai ini termasuk rising star.
Saya berlega hati. Pada akhirnya, saya bisa merasakan bagaimana terbang menggunakan Boeing 777 – 300 ER yang berkapasitas 356 kursi ekonomi dan 24 tempat duduk untuk bagian bisnis. Varian 300 ER yang pertama kali dikirimkan ke maskapai Air France pada 29 April 2004 ini juga digunakan "flagship carier" kita: Garuda Indonesia (Kapasitas duduknya hanya 314 kursi, sebab ada beberapa kelas yang berbeda). Tetapi, saya justru dapat kesempatan mencobanya bersama Qatar Airways.
Perjalanan udara selama 14 jam dari Doha (Qatar) menuju Washington D.C. mengajarkan saya banyak hal. Mulai dari mencari tempat duduk yang nyaman melalui fasilitas online check-in, bekal camilan, bacaan, hingga bersiasat tidur atau istirahat. Ternyata, posisi menentukan "prestasi" (baca: kenyamanan istirahat). Menurut Seat Guru dari TripAdvisor, ada sejumlah kursi ekonomi yang musti kita hindari supaya penerbangan menyenangkan.
!break!Dasar orang kampung yang cuma berani pergi naik gunung di wilayah Nusantara, saya tak punya pengalaman bersiap terbang jauh. Persiapan pun ala kadarnya. Jangan bayangkan, saya berkalung bantal tiup—yang kerap dipakai para pejalan. Saya kira kondisinya mirip kalau terbang ke Jayapura, Papua. Wah, ternyata betul-betul berbeda.
Misalnya, begini, soal bacaan. Saya sudah siapkan beberapa bacaan pengusir jenuh. Tetapi rupanya, kondisinya tak memungkinkan. Di depan saya, ada layar televisi yang menyajikan sejumlah hiburan. Oryx Inflight entertainment, sistem AVOD dari Qatar Airways menyajikan lebih dari 1.000 pilihan hiburan, mulai dari film, TV, musik, permainan, dan masih banyak lagi. Sayangnya, film yang ditawarkan buat saya tidak terlalu menarik. Kebanyakan film yang tersedia adalah buatan Bollywood (alias India). Dan, yang menarik ada dua judul film asal Indonesia, lho. Lampu utama lebih sering dipadamkan, sementara saya tak terlalu nyaman dengan lampu pribadi yang tersedia di atas kepala.
Saya berada di tengah masyarakat internasional. Boleh dibilang begitu. Sebab, ada sejumlah kebangsaan di sini. Ada orang Qatar, Amerika, India—jumlahnya mendominasi penumpang pesawat— hingga warga Jakarta, Indonesia. Mereka mengobrol dengan kolega atau keluarganya dengan bahasa masing-masing. Sesekali kami berbincang dengan bahasa internasional, sekadar melepaskan jenuh penerbangan panjang.
Penerbangan jarak jauh juga memberikan pengalaman saya melintasi wilayah udara beragam negara. Berangkat dari Doha, kami melintasi Eropa bagian utara, terus menuju Greenland, Kanada hingga memasuki wilayah Amerika. Rata-rata ketinggian terbang di atas 10.000 meter dengan kecepatan (di darat) sekitar 850-an kilometer per jam.
Setelah "mati gaya" di dalam penerbangan jauh itu, saya pun tiba di Bandara Internasional Dulles, Washington D.C. Begitu urusan laporan imigrasi beres, saya pun memijak tanah Amerika dan menghirup udaranya dengan bebas.