Malaysia, Australia, dan Belanda kembali menyerukan kepada pihak-pihak yang bertikai di Ukraina untuk memberikan akses bebas kepada tim penyelidik ke lokasi reruntuhan pesawat Malaysia Airlines MH17.
Seruan ketiga negara disampaikan setelah Badan Keselamatan Belanda pada Selasa (9/9) mengeluarkan laporan awal mengenai jatuhnya MH17 pada 17 Juli di wilayah Ukraina timur yang dikuasai pemberontak pro-Rusia. Disebutkan pesawat hancur dihantam benda yang membelah pesawat dalam kecepatan tinggi.
"Adalah sangat penting tim penyelidik diberi akses penuh dan tanpa rintangan ke lokasi kejadian MH17 untuk mengangkut seluruh jasad, merampungkan penyelidikan dan mengungkap apa yang terjadi," kata Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.
Para ahli Malaysia dan Belanda kini dikirim ke Ukraina bagian timur untuk melakukan penyelidikan atas jatuhnya Malaysia Airlines MH17 dalam penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur.
Ukraina telah menyatakan kesiapan bekerja sama. "Tugas utama tim penyelidik adalah datang lagi ke lokasi kejadian seperti yang direncanakan sebelumnya, dan melanjutkan semua langkah yang diperlukan. Kami membicarakan bagaimana memungkinkan hal itu," kata Wakil Perdana Menteri Ukraina, Volodymyr Groysman.
"Saya dapat memastikan Ukraina mendukung penuh rencana tersebut."
Sementara itu laporan-laporan media Rusia menyebutkan pemimpin pemberontak di Ukraina timur, Alexander Zaharchenko, mengatakan siap memberikan jaminan keamanan kepada tim penyelidik.
Seluruh penumpang dan awak pesawat yang berjumlah 298 orang, sebagian besar warga Belanda, meninggal dunia ketika pesawat jatuh. Sebagian jasad korban telah dipulangkan ke negara masing-masing, termasuk ke Indonesia.
Para keluarga korban merasa lega, karena hasil penyelidikan itu berarti para penumpang tidak merasa sakit atau menderita sebelum menjemput ajalnya, kata Joss Wibisono, warga Indonesia yang tinggal Belanda, keponakan Jane Adi Soetjipto, salah satu penumpang pesawat naas itu.
Menurut Joss, yang sudah lebih dari 25 tahun tinggal di Amsterdam, bagi Belanda jatuhnya pesawat MH17 itu bagai peristiwa 11 September bagi Amerika Serikat.
"Ini merupakan 11 Septembernya orang Belanda. Dua pertiga dari hampir 300 korban adalah warga Belanda, padahal Belanda bukan pihak yang terlibat dalam konflik di Ukraina. Tapi kok jadi korban, itu yang membuat rakyat Belanda merasa sangat terluka," tegas Joss Wibisono kepada BBC Indonesia.