Byuuur! Vivi menceburkan badannya ke kolam untuk beberapa saat. Kemudian dia menyembul dan berkecipak menuju ke tepian lain. Sementara Caki memilih bermalas-malasan di batuan tepi kolam. Pasangan mesra—dan tanpa busana—itu tampaknya menikmati suasana sore di rimba kecil. Saya mengintip mereka lewat lubang pembidik di kamera—bak paparazzi.
Caki dan Vivi, bukan sedang berlibur. Mereka adalah sepasang berang-berang cakar kecil atau otter (Aonyx cinerea), jenis berang-berang terkecil yang menghuni planet ini. Panjang badannya kurang dari satu meter. Hidungnya tampak hitam kemerahan dengan misai yang bersungut-sungut. Saya menjumpai keduanya di kerindangan rimba Bali Zoo, kebun binatang seluas 5,5 hektar di bilangan Singapadu, Gianyar, Bali. Kolam mereka didesain mirip aquarium sehingga pengunjung dapat menyaksikan polah satwa itu tatkala menyelam.
Berkunjung sore hari di kebun binatang barangkali bukan saat yang tepat. Hampir semua satwa yang saya jumpai tengah mengantuk, bermalas-malasan, atau tidur nyenyak. Saya berkeliling bersama I Made Lodra, seorang Zoo Manager, dan I Dewa Atmaja, dokter hewan yang memonitor satwa-satwa kebun binatang itu. Keduanya menggunakan seragam warna khaki dengan gaya ala jagawana hutan.
Kami kemudian menyusuri lorong menuju kandang terbuka milik Si Buntung dan Kartini. Mereka adalah harimau benggala (Panthera tigris bengalensis) yang berbulu pucat dengan loreng hitam. Si Buntung berasal dari Kebun Binatang Pematang Siantar, sementara Kartini berasal dari Kebun Binatang Surabaya. Barangkali jika Kartini tidak pindah ke Bali, dia bernasib mengenaskan seperti satwa-satwa lain di Kebun Binatang Surabaya. Dalam sehari keduanya menghabiskan setidaknya delapan kilogram daging sapi atau ayam, sesekali menyantap daging kambing.
“Aoooou... Aoooou... Aooou...,” Lodra memanggil Si Buntung yang tampaknya tetap tak bergeming. Satwa malang itu tidak memiliki kaki kiri sejak lahir. Meskipun demikian, “Si Buntung itu paling kuat. Anaknya banyak!”
Kartini sudah enam kali melahirkan, demikian ungkap Atmaja. Anaknya sekarang ada sepuluh ekor, ujarnya, padahal rata-rata harimau benggala memiliki dua atau tiga anak. “Paling super mereka!”
Lodra mengatakan bahwa dirinya dibantu 15 orang keeper, yang bertugas mengrus satwa-satwa penghuni kebun binatang itu sejak pagi hingga malam. Sehari-hari mereka seperti pawang lantaran mereka yang paling dekat dan paling tahu tentang satwa yang mereka rawat. Terdapat lima bagian satwa dalam kebun binatang ini: mamalia, burung, primata, karnivora, dan reptil. Masing-masing unit dikelola oleh tiga orang keeper.
Saya kerap bersantap sembari dikeroyok meongan kucing, namun malam ini saya bersantap sembari ditemani auman singa afrika.
“Mereka akan kontrol kesehatan,” ujar Lodra. “Apabila ada gangguan, segera pagi itu juga ditangani dokter.” Kemudian Atmaja menambahkan, “Gangguan kesehatan mereka biasanya diare. Perubahan cuaca biasanya merupakan penyebabnya.”
Sebagian hewan di sini aktif pada malam hari sehingga sepanjang malam kebun binatang tersebut menggelar program Night At The Zoo. Papan informasi tentang jati diri satwa yang ditempatkan di depan kandang mereka pun didesain untuk dapat dibaca kala malam.
Program Night At The Zoo digelar pada pukul 18.00-21.30 WITA. Sebagai ucapan selamat datang, para pelancong menikmati kudapan sore, kemudian dilanjutkan dengan berkeliling kebun binatang dalam gulita sembari menyaksikan geliat satwa-satwa malam. Program tersebut diakhiri dengan makan malam di ruang terbuka sembari menyaksikan pentas hiburan tarian khas rimba hingga bercumbu dengan para satwa. Umumnya pelancong yang tertarik Night At The Zoo berasal dari mancanegara.
Saya menyaksikan program tersebut dari Wana, kedai santap dalam balutan kayu-kayu khas arsitektur rimba dan lampu temaram di dalam kawasan Bali Zoo. Kedai ini hanya berbatas dinding kaca—seolah tak berdinding—dengan arena terbuka Aramis dan Marsel. Keduanya merupakan singa afrika yang menggiras jelang malam.
Ketika saya bersiap menyantap ayam panggang, Marsel tampak mondar-mandir dan blingsatan sembari mendengus sepanjang dinding kaca. Sementara Aramis duduk tenang dengan sesekali menggemakan aumnya. Mungkin saja mereka terhasut aroma ayam panggang. Saya kerap bersantap sembari dikeroyok meongan kucing, namun malam ini saya bersantap sembari ditemani auman singa afrika.
“Saya tidak tega menyaksikan binatang dalam kurungan,” ujar Anak Agung Gde Lesmana Putra selaku General Manager kepada saya. Alasan itulah yang menggerakkannya untuk secara bertahap mulai menempatkan satwa dalam kandang terbuka sesuai habitat aslinya.
Lesmana berkisah, kebun binatang ini dirintis oleh ayahnya, Anak Agung Gde Putra, yang sejak muda memang menggemari dunia satwa. Dari ayahnya pula, dia mengenal berbagai satwa. Wahana ini diresmikan pada Maret 2002 dan pembukaan akbarnya dirayakan pada September tahun yang sama. Selama 12 tahun berkiprah, kebun binatang ini telah menjalin kerja sama dengan berbagai kebun binatang lainnya, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang berada dalam payung Kementerian Kehutanan.
“Berbeda dengan kebun binatang lain,” ujar Lesmana, “Bali Zoo menawarkan kepada pengunjung sebuah pengalaman bersentuhan bersama satwa—get close and personal with our wild life.”