Uluk Palin: Cermin Kesusahan Masyarakat Tradisi

By , Senin, 15 September 2014 | 18:20 WIB

Kabar tentang terbakarnya rumah panjang Uluk Palin di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada Sabtu (13/9) malam lalu sungguh mengiris perasaan. Bukan semata karena terdapat kenangan akan tempat itu. Melainkan, karena teringat bahwa seharusnya rasa kehilangan itu bukan semata milik sekelompok orang.

Dari foto-foto yang beredar di media sosial, tampak puluhan tiang dari kayu ulin yang berwarna gelap itu masih berdiri tegak. Namun, sekarang tidak ada apapun lagi untuk ditopang. Tidak pula kehidupan 130-an kepala keluarga yang sebelumnya hidup di rumah panjang tersebut.

Dalam tradisi Dayak, rumah panjang—dan hutan—adalah semacam kosmos. Pusat sekaligus bagian terpenting semesta kehidupan. Seperti jika kita mengucapkan kata “kampung”, “pulang”, “rumah”; maka rumah panjanglah yang diingat oleh masyarakat Dayak. Bagi mereka, rumah panjang juga merupakan pemersatu. Rumah panjang adalah identitas. Di sanalah mereka berkerabat dan bertradisi.

Di rumah panjanglah tradisi Dayak terpelihara. Bukan di pentas-pentas kesenian maupun di poster raksasa yang terpasang di dinding terminal-terminal bandara. Rumah panjang adalah bagian dari apa yang kita sebut sebagai kekayaan budaya Indonesia. Jangan lupa bahwa sebelum terbakar habis, itu adalah rumah panjang yang terpanjang dan yang tertua di seantero Kalimantan. Suatu cagar budaya yang sangat penting.

Rumah panjang Uluk Palin, dan komunitas subetnis Dayak Tamambaloh Apalin sebagai sang empunya, telah bertahan dari segala perubahan yang terjadi pada setidaknya satu abad terakhir. Perubahan-perubahan itu termasuk yang didorong dari luar, yakni peradaban modern perkotaan.

Dari yang tadinya merupakan masyarakat pengumpul, peramu, dan pemburu; perlahan mereka berusaha beradaptasi menjadi komunitas yang bekerja dan membeli. Seraya bergelut dengan faktor ekonomi, mereka menghadapi beberapa hal lainnya. Termasuk kecenderungan masyarakat modern perkotaan yang agaknya mendorong mereka untuk membangun rumah-rumah tunggal yang lebih higienis. Termasuk pula menghadapi anggapan bahwa mereka “tertinggal”.

“Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat,” tulis aktivis ’66, Soe Hok Gie, pada suatu kali. Melihat rumah panjang masyarakat Dayak, mengenal orang-orangnya, tidak akan sama kualitasnya dengan mengunjungi, misalnya, Taman Mini Indonesia Indah.

Lebih daripada itu, saat ini ratusan orang di sana terpaksa bertahan di bawah tenda-tenda. Di antara mereka terdapat banyak anak-anak, yang biasanya bermain lompat karet, mengayuh sepeda mungil, atau membantu orang tuanya mengupasi kulit buah tengkawang di lorong beranda rumah panjang.

Dari Jakarta, untuk mencapai (sisa-sisa) rumah panjang Uluk Palin, kita perlu naik pesawat ke Pontianak, lalu dilanjut pesawat lagi ke Putussibau jika tidak ingin menempuh perjalanan darat semalaman.

Dari Putussibau, jarak Uluk Palin terpaut satu jam 15 menit berkendara. Dari Jakarta, tempat ini jauh. Namun, sebagai bagian dari tanah air, masyarakat tradisi Uluk Palin membutuhkan uluran tangan. Untuk bangkit. Ke Indonesia-lah harapan dapat diucapkan dalam hati, walaupun perbatasan Malaysia berjarak lebih dekat.