Antropolog Asal Australia Ini Mendalami Makanan Indonesia

By , Senin, 22 September 2014 | 12:20 WIB

Antropolog asal Australia Angie Bexley serta suaminya, seorang koki asal Indonesia Jon Priadi, kembali ke Indonesia setelah 14 tahun tinggal di Australia. Sejak mengunjungi Indonesia pertama kalinya di tahun 1997, Angie sudah jatuh cinta dengan aroma dan rasa masakan Indonesia.

"Ketertarikan ini membawa saya ke perjalanan untuk merasakan berbagai masakan Indonesia," kata Angie. "Dari rendang di Sumatera Barat sampai ke tempe goreng di Jawa Tengah ke ikan bakar di tepi pantai di Los Palos Timor Leste. Ini sangat berbeda dengan roti isi Vegemite dari masa kecil saya."

"Saya tertarik dengan kebiasaan masyarakat Indonesia berbagi makanan guna memperkuat hubungan kekeluargaan, untuk menghalau roh jahat atau memenuhi kewajiban politik. Saya sekarang memperluas minat saya atas peran makanan dalam kehidupan modern di Indonesia khususnya di Yogyakarta, di mana masyarakat kelas menengah semakin berkembang yang tertarik dengan kecenderungan baru."

Bekerja sama dengan suaminya Jon, Angie sekarang terlibat dalam sebuah proyek terbaru bernama The Culture Kitchen FoodLab dengan maksud mengekplorasi ramuan dan metode memasak ala Indonesia dan membawa makanan dan budaya Indonesia ke Australia.

"Tentu semua orang tahu adanya pepatah—cara terbaik mengambil hati seseorang adalah lewat perutnya," kata Angie.

Separuh proyek seni, separuh kafe, dan sisanya kegiatan budaya, Angie mengatakan makanan sudah lama menjadi bagian dari hubungannya dengan suaminya Jon Priadi.

"Ketertarikan saya dari sisi antropologi adalah dalam cara bagaimana kita semua membuat makanan, berpikir mengenai makanan, dan juga sebenarnya pertanyaan mengenai apa sebenarnya yang bisa disebut makanan, dan bagaimana hal itu semua berubah saat ini di Indonesia."

Angie Bexley mengaku jatuh cinta dengan aroma dan rasa masakan Indonesia. (ABC Australia)

Mereka sekarang sedang mencari lokasi di Yogyakarta selatan di mana berencana mendidikan "laboratorium makanan" dan kafe, dan juga mengelola kebun sayuran organik.

Mereka juga akan mendokumentasikan proyek ini, dan juga apa yang mereka buat, dan akhirnya nanti akan diterbitkan menjadi sebuah buku.

"Kami juga ingin membantu sekolah lokal dengan kebun sekolah yang akan menghasilkan produk alternatif yang lebih sehat dibandingkan berbagai produk yang dijual di sekolah yang penuh dengan kandungan gula," kata Angie. "Ya ini memang proyek ambisius."

"Jon dibesarkan di kaki gunung Kerinci di Sumatra. Dia sering melihat neneknya menumbuk bumbu dengan menggunakan cobekan, dan juga kue talam labu," kata Angie.

"Bagi Jon, makanan adalah seni. Dia melakukan berbagai eksplorasi dengan bahan-bahan yang jarang digunakan dalam masakan Indonesia, misalnya akar sayuran, dan kemudian menggunakannya dengan metode modern."

Sekarang setelah mereka kembali ke Indonesia, Angie dan Jon melihat adanya perubahan di Indonesia.

"Yogyakarta dengan cepat berubah: semakin banyak orang, jalanan semakin macet," katanya.

"Dalam waktu bersamaan, jaringan artis, petani atau berbagai kafe juga semakin tertarik dengan hal mengenai ekonomi berkesinambungan."

"Sekarang ada pasar sayuran organik hampir setiap hari di berbagai tempat. Kami tertarik dengan kenyataan bahwa warga di sini sekarang semakin ingin melihat Indonesia yang lebih sehat, lebih bersih, lebih berkesinambungan. Kami berharap bisa menawarkan sesuatu dalam soal ini."

Jadi dalam menu sehari-hari dalam keluarga Angie dan Jon, apa yang mereka sukai?

"Saya suka dengan sayuran segar, pecel yang disajikan bersama dengan tempe goreng, sayuran kol, timun, ditambah dengan kemangi. Menu sederhana tapi enak sekali." kata Angie. "Bagi Jon, yang paling mantap selalu rendang sapi."