Indonesia “beruntung” menjadi tempat meletusnya dua gunung yang mempengaruhi iklim dunia: Tambora dan Krakatau. Apakah itu sekadar catatan kaki sejarah? Sekadar kenangan?
“Ketika melakukan penelitian ke situs Tambora, anak-anak ini selalu mendekati, memperhatikan apa yang kami lakukan. Merekalah warga setempat pertama yang menyadari arti penting kawasan yang menjadi tempat tinggal mereka.”
Ini diungkapkan Sonny C Wibisono dari Pusat Arkeologi Nasional saat memaparkan gagasan membentuk Ekomuseum Tambora dalam seminar nasional "Jaya Giri Jaya Bahari" yang digelar Harian Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Senin (22/9).
Museum tanpa dinding dan atap ini mengajak pengunjung untuk bertualang, menikmati sekaligus menambah wawasan soal geologi, kegunungapian, arkeologi dan sejarah di ground zero peristiwa alam dahsyat berabad lalu. Bila Pompeii bisa, kita pun bisa.
Ekomuseum juga akan melibatkan warga setempat, tak sekadar penonton, tapi mendapat bagian baik dari wisata minat khusus ini—menyediakan homestay, hidangan khas setempat, produk unggulan yang bisa dijadikan oleh-oleh macam kopi organik Tambora, pemandu wisata piawai dan hal lain yang bisa dikembangkan dan dijual. Bukan yang bersifat mewah, tapi keseharian warga pun menarik bagi wisatawan yang ingin mengenali corak kehidupan di situs yang sampai kini masih menunjukkan jejak ajal letusan dahsyat masa lalu.
Kurang dari setahun persiapan menyambut 200 tahun letusan Tambora, April 2015. Ayo, lebih cepat, lebih baik.