Surga Tanaman Obat di Tanah Borneo (2)

By , Senin, 22 September 2014 | 20:24 WIB

Akhirnya saya tiba juga di Bandar Udara Juwata Tarakan. Tarakan adalah kota terbesar di provinsi termuda Indonesia, Kalimantan Utara, sekaligus pintu masuk saya menuju Desa Buduk Kubul.

Buduk Kubul hanya dapat dicapai dengan menggunakan pesawat perintis dengan kapasitas 5 penumpang, dan membutuhkan waktu sekira 1 jam untuk mencapai desa tersebut. Keesokan paginya, dalam perjalanan menuju Buduk Kubul, pesawat yang saya tumpangi harus singgah di desa karena cuaca yang kurang mendukung.

Di tempat tersebut, saya menggunakan kesempatan untuk berkenalan dengan masyarakat setempat dan diajak untuk melihat fasilitas umum di sana. Desa ini ternyata memiliki sebuah pembangkit listrik tenaga air swadaya masyarakat yang telah memberikan manfaat selama dua tahun terakhir.

Tiba di Buduk Kubul, saya, Ratih dan tim disambut oleh masyarakat setempat serta beberapa tetua adat. Festival panen raya Irau diadakan setiap tahunnya untuk merayakan keberhasilan panen selama setahun.

Tarian di acara Irau (Dok. KompasTV)

Buduk Kubul merupakan wilayah subur di daerah Pegunungan Krayan, dekat dengan perbatasan Indonesia dan Sarawak di Malaysia, yang terkenal dengan budidaya beras adan—beras organik pilihan para sultan dan raja di Malaysia dan Brunei Darussalam. Dan selama saya tinggal di Buduk Kubul, saya ikut merasakan nasi yang ditanak dari beras pilihan raja.

Sebagai beras pilihan raja, seharusnya penghasil beras adan akan mendapatkan penghasilan yang tinggi, namun yang terjadi adalah sebaliknya, beras ini hanya dijual sekitar 10.000 rupiah per kilonya, yang terhitung sangat murah.

Seusai acara saya melanjutkan perjalanan menuju Long Bawan, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 3 km dari perbatasan Indonesia dan Ba'kelalan di Sarawak Malaysia. Perjalanan ini ditempuh dengan jalan kaki selama 6 jam mendaki gunung di tengah hutan Kalimantan. Sesampainya di Long Bawan, saya tinggal di rumah Yagung Bangau, ketua adat Dayak Lundayeh.

Selain listrik yang hanya menyala 6 jam sehari, kenyataan banyaknya jalan yang rusak. Dan, harga barang buatan Indonesia yang jauh lebih mahal dibandingkan barang-barang Malaysia menarik saya untuk berbincang dengan Pak Yagung tentang hal ini. Dari perbincangan itu, kurangnya perhatian pemerintah indonesia terhadap daerah perbatasan adalah penyebab utamanya.

Ketertarikan itu saya buktikan dengan perjalanan saya bersama tim langsung ke titik patok perbatasan dan berbincang dengan beberapa pedagang Indonesia dan Malaysia yang saling bertemu untuk berdagang di titik perbatasan.

Harga bahan bakar yang mahal yang dibutuhkan sebagai imbas kurangnya pasokan listrik, serta akses jalan banyak yang rusak memicu masyarakat setempat lebih memilih menggunakan barang-barang buatan Malaysia.

Adalah Pak Yagung yang kemudian menyebutkan kalimat menarik saat perjalanan pulang, "Hati kami milik Indonesia, tapi perut kami milik Malaysia."

Keesokan harinya, perjalanan saya berlanjut menuju ke Wa' Yagung, sebuah tempat kaya akan tanaman obat tradisional di tengah hutan Kalimantan.

Sesuai lokasinya yang benar-benar di tengah hutan, perjalanan hanya bisa dilakukan dengan jalan kaki sekitar 10 jam. Semua akhirnya terbayar, begitu kami mencapai Wa' Yagung dan mendapati penderita terinfeksi HIV yang menunjukkan perbaikan setelah diberikan pengobatan tradisional dari tanaman asli kalimantan.

Sebagai seorang dokter, pengetahuan ini tentunya baru untuk saya, karena hingga saat ini Infeksi HIV belum bisa disembuhkan, hanya bisa menekan replikasi virusnya saja.

Banyak hal baru yang saya jumpai sebagai dokter saat tinggal di daerah Krayan, salah satu surga tanaman obat tradisional di Indonesia.

Saya menjadi teringat akan kalimat yang pernah diajarkan oleh salah satu guru saya, seorang ahli bedah onkologi, yang menyatakan perlu waktu hampir seratus tahun untuk meneliti sebuah tanaman pinus dan menjadikannya sebagai obat kemoterapi untuk kanker payudara.

Demikian pula kemungkinan banyak obat yang akan ditemukan dari kekayaan tanaman asli di jantung Kalimantan._____________________________Melalui program dokumenter, "Doctors Go Wild", Kompas TV mengajak dua dokter untuk mengeksplorasi berbagai tempat di pelosok Nusantara, melihat dan mempelajari berbagai tata cara serta keunikan pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat setempat.