Radiasi Antariksa Mungkin Ubah Struktur Otak Astronaut

By , Selasa, 5 Mei 2015 | 08:00 WIB

Bahkan setelah selama 54 tahun mengutus beratus-ratus astronaut ke luar angkasa, NASA masih belum menemukan mengapa antariksa dapat memengaruhi struktur tubuh manusia.

Baru-baru ini peneliti memelajari apakah penerbangan antariksa yang memakan waktu lama tersebut memiliki pengaruh dalam perubahan tinggi atau berat badan astronaut, dengan mengutus astronaut kembar Mark dan Scott Kelly. Penelitian itu dibuat karena adanya dugaan peran mikrogravitasi yang memengaruhi sistem musculoskeletal.

(Baca juga: NASA Teliti Dampak Penerbangan Antariksa pada Tubuh Astronaut)

Kini peneliti juga menduga adanya pengaruh penerbangan antariksa pada perubahan struktur otak. Dalam penelitian yang dilansir jurnal online Science, ilmuwan meneliti pengaruh sinar kosmis pada tikus. Mereka menempatkan tikus di ruangan penuh dengan elemen pembentuk sinar kosmis: oksigen dan titanium yang terionisasi. Hasilnya, tikus yang terkena radiasi sinar kosmis menjadi lebih tidak peka dan kerap merasa bingung.

Tidak hanya itu, setelah enam minggu setelah pengeksposan, ilmuwan di UC Irvine mendapati bahwa struktur otak tikus juga berubah: partikel neuron di otak menghancurkan struktur sinapsis dendrites di otak yang gunanya membawa sinyal elekrokimia antar neuron. Perilaku partikel itu mengindikasikan kegiatan partikel yang sama pada otak penderita penyakit Alzheimer.

Kendati demikian, tidak berarti NASA harus mengirim pulang semua astronaut dan ilmuwan yang saat ini berada di ISS, karena adanya magnetosfer yang melindungi mereka dari kemungkinan berubahnya kegiatan partikel otak yang ditimbulkan radiasi tersebut. Selain itu, perlu radiasi yang cukup lama hingga berbulan-bulan untuk memberi dampak membahayakan tersebut pada otak astronaut.

Namun penelitian ini menjadi pertimbangan bagi NASA untuk melanjutkan misi mereka meneliti Mars dalam waktu lama, mengingat risiko yang ditimbulkan mungkin saja memengaruhi kegiatan penelitian. Mampukah para astronaut melanjutkan penelitian tanpa risiko kerusakan otak?