Penelitian Ebola Lebih Lanjut Pada Tinja Gorila

By , Minggu, 28 September 2014 | 22:00 WIB

14.000 penghuni rumah di Freeport, Sierra Leone, telah diperintahkan untuk menetap di dalam rumah mereka selama tiga hari, dalam upaya menghentikan Ebola semakin mewabah. Upaya tahanan rumah yang diterapkan di seluruh penjuru negara ini belum pernah terjadi sebelumnya. 20.000 relawan telah direkrut untuk membantu mengidentifikasi tersangka pembawa Ebola.

Tak ada yang mudah dalam upaya menghentikan penyebaran virus ini. Kemarin delapan mayat anggota delegasi pejabat kesehatan dan jurnalis ditemukan di desa terpencil di Guinea, tampaknya dibunuh karena dilempari batu. Petugas kesehatan di seluruh daerah, termasuk Liberia dan Sierra Leone, telah terancam secara fisik oleh orang yang menerima informasi salah karena takut mereka benar-benar membawa penyakit tersebut.

Di tengah kepanikan yang meluas ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, lebih dari 700 kasus baru tercatat minggu ini, meskipun telah dikerahkan berbagai upaya menghentikannya, Ebola tetap mewabah.

Namun, kabar gembira datang dalam bentuk tes diagnostik yang dapat membantu mencegah epidemi di masa depan. Dr William Karesh, Wakil Direktur Eksekutif bagian Kesehatan dan Kebijakan di Aliansi Ecohealth, dan seorang dokter satwa liar yang telah mempelajari Ebola pada kera besar selama bertahun-tahun, telah menemukan metode untuk mendeteksi antibodi Ebola dalam tinja.

Hingga sekarang, metode pendeteksi di alam liar bergantung pada pengambilan darah atau jaringan tisu dari kera yang terinfeksi. Karena mengumpulkan tinja lebih mudah daripada mengumpulkan sampel darah atau mengangkut bangkai dari hutan, teknik ini membantu peneliti menyapu wilayah yang lebih luas dan lebih akurat dalam menentukan hotpot yang diperkirakan berisiko mewabah di masa depan.

Gorila sebenarnya lebih rentan terhadap Ebola dari manusia, dengan angka kematian mendekati 95%. Selama 20 tahun terakhir, wabah Ebola pada kera telah menghancurkan populasi tersebut. Karesh memperkirakan sekitar 25% dari kera liar di Kongo tewas oleh virus. Karesh berharap tekniknya akan membantu para ilmuwan mendeteksi Ebola pada kera dengan cepat.

Penemuan ini dapat membantu peneliti menarget yang lebih baik ke populasi yang rentan untuk kampanye vaksinasi di masa depan. Mungkin tak lama hingga hari itu tiba, meskipun belum ada vaksin untuk saat ini. Vaksin 'yatim piatu' awalnya dikembangkan untuk orang-orang namun ditinggalkan selama proses perizinan yang panjang (ini bisa terjadi karena berbagai alasan, termasuk penemuan efek samping yang berbahaya) dapat melindungi kera terhadap virus.

Sebuah penelitian yang dipublis di PNAS menunjukkan bahwa satu vaksin tertentu, dikembangkan dengan perusahaan bioteknologi, Integrated Biotherapeutics, mencegah tikus untuk mengembangkan penyakit.

"Semuanya terhubungkan pada hewan," kata Karesh. Jika tinja gorila mampu menjelaskan penyebaran Ebola, spesies yang rentan dan populasi manusia tentunya akan mendapatkan manfaat.