Rujak soto bukan sekadar kuliner khas Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, nan enak. Makanan itu tercipta dari kultur budaya Banyuwangi yang kaya. Dalam Festival Rujak Soto, pekan lalu, warga Banyuwangi pun mengajak wisatawan mencicipi kekayaan budaya itu.Festival Rujak Soto hanya satu dari puluhan agenda wisata di Banyuwangi yang juga ditampilkan dalam Kompas Travel Fair 2014 di Jakarta Convention Center mulai Jumat (26/9) ini. Bumbu rujak soto antara lain kacang, petis, udang, garam, gula merah, dan pisang klutuk. Bahannya antara lain kangkung, taoge, kerupuk udang, emping melinjo, tahu, tempe, serta kuah soto dan isinya.Festival Rujak Soto dimulai dengan peserta serentak mengulek sambal sebagai pelengkap makanan itu. Puteri Indonesia Elvira Devinamira, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, hingga Chef Priscil dari Master Chef Indonesia 1 ikut mengulek sambal di cobek batu. Taman Blambangan, Banyuwangi, tempat festival itu digelar, pun ramai dengan pengulek rujak.Perpaduan, keterbukaanRujak soto adalah perpaduan rujak sayur dengan kuah soto yang segar. Makanan ini dapat ditemukan di seluruh wilayah Banyuwangi, mulai dari restoran besar hingga warung kecil.
Selain rujak soto, Banyuwangi juga terkenal dengan pecel rawon, yaitu pecel sayuran yang disiram dengan kuah rawon. Ada pula ketan duren, yaitu ketan yang dicampur susu dan buah durian.
Jurus campur-mencampur memang menjadi karakter dan keahlian masyarakat Banyuwangi.
Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimanyan, pernah berkata, masyarakat Banyuwangi amat terbuka akan hal baru. Dari hal baru itu, mereka menciptakan sesuatu yang baru pula.
Makanan hanya menjadi contoh kecil masyarakat Banyuwangi sangat adaptif. Dalam berkesenian, kultur khas itu pun muncul, misalnya kendang kempul. Kesenian ini memadukan seni tradisional dengan musik Melayu.
Kesenian hadrah juga hadir dalam nuansa tradisional yang dibalut unsur kesenian Timur Tengah. Penari melenggak-lenggok, tetapi tetap memakai pakaian tertutup dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Keterbukaan dan keramahan menjadi karakter masyarakat Banyuwangi. Cobalah datang ke Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, salah satu desa adat Using. Saat ada perayaan ider bumi atau sedekah bumi, setiap warga membuat tumpeng yang akan dimakan bersama oleh siapa pun yang datang ke desa itu, tak peduli kenal atau belum kenal.
Banyuwangi memang terbuka. Mereka tak menolak masuknya budaya baru atau memadukannya dengan budaya yang ada.