Saya masih ingat. Pertengahan tahun lalu, saya tersengal-sengal bersama Fotografer National Geographic Indonesia Yunaidi (@yunaidijoepoet) menyusuri jalan aspal yang mendaki. Pada pagi sebelum subuh menjelang, kami menembus angin dingin. Embusan angin yang mengigilkan tubuh tak lagi kami pedulikan. Baju hangat yang kami kenakan seolah tak mampu menahan serangan dingin itu.
Tujuan kami hanya satu: Memburu mentari terbit di pucuk Kelimutu.
Perjalanan kami sebetulnya tidak terlampau mulus. Maklum, ketika itu, Kelimutu sedang menunjukkan geliatnya. Sejak 6 Juni 2013, kawasan Taman Nasional Kelimutu dinyatakan tertutup untuk kunjungan wisata. Badan Vulkanologi menyatakan status waspada terhadap aktivitas kegunungapian Kelimutu—yang masih tercatat sebagai gunung api aktif Indonesia.
Tentu, sudah dapat dibayangkan, berapa banyak kekecewaan yang terlontar dari wisatawan mancanegara yang gagal mendaki Kelimutu. Mereka yang penasaran dengan kawah tiga warna Kelimutu itu harus mengalah pada alam.
"Per tanggal 12 Juli 2013, status Gunung Kelimutu kembali normal. Para wisatawan sudah diizinkan kembali mengunjungi kawah Kelimutu," ujar Alfonsus Tupen, staf Taman Nasional Kelimutu.
Nah, ketika kami berkunjung ke sana, Kelimutu memang sudah mulai dibuka untuk kunjungan, tetapi kawasan puncaknya masih berselimutkan kabut. Apa yang kami impikan harus kami kubur dalam-dalam. Mentari pagi tak menunjukkan bola merahnya—hanya semburat kemerahan yang muncul dari ufuk timur.
Ah, "mungkin saat itu bukan rezeki saya," gumam saya.
Kalender telah berganti satu kali. Tahun menambah satu angka. Tahun ini, saya mendapatkan kesempatan mengejar mimpi: menikmati mentari pagi di puncak Kelimutu.
Saya mendapatkan kesempatan mengikuti International Ecotourism Business Forum atau IEBF yang diselenggarakan oleh direktorat MICE dan Minta Khusus, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kegiatan yang kesepuluh ini digelar di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur.
Pada hari pertama kegiatan, saya mengajak Alfonsus Tupen, staf Taman Nasional Kelimutu pergi pagi buta. Setelah menempuh perjalanan bermotor selama satu jam tujuh belas menit dari Ende, kami di kawasan Kelimutu. Dan, akhirnya kami berhasil menikmati panorama matahari terbit yang memulas keindahan danau warna yang unik di dunia itu. Hurah!