Padahal di dalam pesawat yang sedang melakukan terbang patroli malam itu terdapat Panglima Komando Mandala, Mayjen Soeharto.
Di medan tempur yang makin memanas, keberadaan para panglima perang atau komandan tertinggi menjadi demikian penting karena sangat menentukan jalannya pertempuran. Para komandan tempur yang sukses memimpin anak buahnya selain menjadi tokoh kunci juga menjadi target utama pasukan musuh.
Untuk melindungi keberadaan dan mobilitas para panglima perang selain dijaga oleh pasukan terlatih juga didukung oleh informasi yang serba rahasia pada setiap sepak terjang para panglima perang. Tapi misi melindungi para panglima perang menjadi sangat riskan ketika mereka sedang melaksanakan mobilitas menggunakan pesawat terbang.
Ketika pecah konflik militer antara Indonesia dan Belanda untuk memperebutkan wilayah Irian Barat (Papua) pada tahun 1962, para pilot maskapai penerbangan Garuda turut dilibatkan dalam operasi militer untuk menerbangkan pesawat-pesawat transport. Sebelum melaksanakan tugas di medan tempur, mereka dilatih terlebih dahulu dengan latihan dasar militer dan selanjutkan mendapatkan pangkat perwira penerbang.
Pesawat-pesawat transport yang diterbangkan oleh para pilot Garuda yang kemudian dikenal sebagai Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) itu antara lain C-47 Skytrain, DC-3 Dakota, dan Convair CV-340.
Misi tempur yang harus dilaksanakan para pilot WG dan WG 011 tidak selalu berjalan mulus, karena penerbangan mereka kerap dihadang cuaca buruk serta sergapan pesawat-pesawat tempur Belanda yang cukup canggih pada saat itu, Hawker Hunter MK-06, Firefly AS-4, Neptune P2V-7 dan Invander B-26.
Selain sergapan pesawat tempur, para pilot WG juga harus mampu menghindari radar Belanda yang telah dipasang di sejumlah strategi di kawasan Irian Barat. Guna menghindari pantauan radar dan sergapan radar serta cuaca buruk, pesawat kerap terbang di ketinggian rendah (tree top) di atas hutan lebat atau di atas perairan yang ganas. Demikian tinggi risiko yang harus dihadapi para awak WG dan WG 011, sehingga misi mereka sering disebut sebagai misi sekali jalan, one way ticket.
“Jadi sebagai pilot WG dan WG 011, kami memang sudah menandatangani surat untuk siap mati dalam misi mendukung operasi tempur TNI untuk membebaskan Irian Barat. Kami waktu itu memang masih muda dan memiliki semangat menyala-nyala. Sehingga perasaan takut sama sekali hilang, apalagi kami juga mendapat pelatihan militer dan merasa sangat percaya diri,” papar salah satu saksi hidup pilot WG, Captain Syafei.
Salah satu missi tempur menantang maut itu adalah penerbangan rahasia pesawat Convair-340 yang dipiloti Kapten Udara Pratowo Dirdjopranoto. Misi tempurnya adalah menerbangkan sejumlah pejabat Komando Mandala Siaga (Kolaga) Pembebasan Irian Barat seperti Panglima Kolaga Mayjen Soeharto, Panglima AL Mandala Komodor Sudomo, Panglima AU Mandala Komodor Leo Wattimena, Kolonel Saleh Basarah yang saat itu menjabat Direktur Operasi Mabes AU, dan lainnya.
Markas komando di udara
Kapten Udara Pratowo rupanya tidak hanya menerbangkan Convair-340 sebagai pesawat transport belaka, melainkan merupakan pesawat yang sudah dimodifikasi menjadi pesawat komando. Modifikasi yang dilakukan tampak pada ruang kabin karena kursi-kursi penumpang antara lain kursi-kursi sudah dikeluarkan dan diganti meja-meja besar dengan tempelan yang menggambarkan peta kawasan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya.
-- Artikel selengkapnya dapat dibaca di Maj. Angkasa edisi Oktober 2014 --