Di Balik Kisah Mengarungi Lautan Masalah di Negeri Belia

By , Selasa, 7 Oktober 2014 | 20:45 WIB

Sepasang penjelajah Amerika menghabiskan 13 bulan menjelajahi Sumatra, Jawa, Bali hingga Timor. Helen dan Frank Schreider berkesempatan merasakan pemberontakan yang berkecamuk pasca kemerdekaan. Ya, mereka menjejakkan kaki di Jakarta—dulu Djakarta—akhir bulan Juli tahun 1960, saat Indonesia masih bergolak.Selama satu tahun lebih pasangan suami istri ini ditemani kendaraan tangguh diberbagai situasi, Tortuga! Ketika itu di Jakarta, mereka ditanyai komandan kendaraan apa yang dinaiki itu, benarkah itu sebuah mobil? Helen hanya dapat tersenyum dan menjawab, ”Setengah iya. Ini Jeep amfibi. Kami menyebutnya Tortuga—dalam bahasa Spanyol berarti kura-kura—karena mobil itu bisa digunakan di darat maupun air.”Begitulah kisah perkenalan Tortuga, kendaraan kura-kura yang mengarungi sulitnya alam Indonesia. Tortuga memukau masyarakat Indonesia yang saat itu masih sangat jarang melihat kendaraan. Sebenarnya Tortuga yang digunakan mengelilingi Nusantara adalah Tortuga kedua. Setelah sebelumnya Tortuga pertama rusak saat menempuh perjalanan dari Artika ke Amerika Selatan.Tortuga II memiliki panjang 4,5 meter dan dirancang khusus untuk perjalanan ‘berat' di Indonesia. Memiliki mesin lebih kuat dengan sistem pendingin ganda, kompas, serta meja peta untuk navigasi. Bahkan dapur, dapat ditemui dalam Tortuga II. Tentunya bersama Tortuga II perjalanan Helen dan Frank Schreider menjadi lebih mudah dan ringan.

!break!

''Ada tamu dari luar angkasa!'' Para penduduk bergembira ria menyambut pasangan Schreider dan ikut berlari-lari mengiringi. (Helen dan Frank Schreider)

Perjalanan panjang menyusuri keindahan suatu daerah tidak hanya dilakukan di Indonesia saja. Helen dan sang suami—yang telah meninggal tahun 1994 silam—pernah melakukan perjalanan panjang serupa. Indonesia merupakan petualangan ketiga mereka. Tahun 1954 hingga 1956, pasangan penjelajah Amerika ini menyusuri keindahan dari Alaska menuju Tierra del Fuego di Argentina. Perjalanan selanjutnya tahun 1958 hingga 1959, ketika itu mereka melakukan navigasi menyusuri Sungai Gangga untuk National Geographic.Indonesia berhasil ditelusuri di tahun 1960. Berselang lima tahun kemudian, giliran Taiwan dijelajahi Helen dan Frank Schreider. Perjalanan panjang tak berhenti disitu. Merekapun menjejakkan kaki di Afrika kemudian melintasi Timur Tengah, kali pasangan ini tidak menggunakan Tortuga lagi, melainkan Land Rover!Setidaknya delapan perjalanan mereka tempuh dan didokumentasikan dalam bentuk buku, artikel, foto, maupun ilustrasi. Melakukan perjalanan panjang melalui darat tentu bukan perkara mudah, penuh tantangan tak terduga. Namun justru perjalanan seperti itulah yang dicari pasangan ini, khususnya Halen. Menurut wanita yang juga menekuni dunia seni ini, perjalanan akan membawa suka cita karena dapat beranjak dari satu tempat ke tempat lain mengelilingi dunia.Tidak hanya sensasi ketika Anda menginjakkan kaki di tempat baru, melainkan berkesempatan merasakan kebudayaan baru, itulah rasa Helen semasa ia masih menjelajahi dunia. Walau sebenarnya, Helen dan Frank Schreider sempat mempertanyakan kemampuan mereka untuk menyelesaikan perjalanan menjelajahi Indonesia. Seperti mampukah Tortuga II menghadapi kerasnya medan pulau-pulau di Indonesia—yang luasnya setengah Amerika Serikat? Sejauh mana penguasaan bahasa Indonesia yang mempunyai lebih dari 200 dialek? Kendati demikian, mereka tetap bersemangat memulai perjalanan. Melalui kesempatan itu pula, merekapun menantang kemampuan Tortuga II dan berbahasa. !break!

Helen Schreider, di usianya yang menginjak 88 tahun tetap aktif sebagai pelaku seni. Ia tetap melukis di setiap kesempatan. (Anna Darrah)

Kini Helen berusia 88 tahun. Hasratnya mengelilingi dunia guna mencicipi keindahan dan keunikan budaya masih terus mengalir dalam darah. Tak sedikitpun terlintas untuk melupakan kebahagiaan semasa menelusuri berbagai wilayah menarik itu.Kembali ke masa lalu, ketika itu Halen masih kanak-kanak dan tinggal di California. Tiap kali ia membaca buku dengan latar tempat berbatu besar dengan kerindangan pohon laksana hutan, menimbulkan hasratnya menjelajahi tempat seperti di buku itu sungguh besar. Beruntung sekali! Hasrat Helen menjelajahi tempat seperti di buku cerita semasa kecilnya tersalurkan ketika menjejakkan kaki di Indonesia. Negeri yang waktu itu masih berusia belia, penuh masalah, namun menyimpan harta karun berupa keindahan alam dan kebudayaan yang luar biasa.

Hasrat Helen menjelajahi tempat seperti di buku cerita semasa kecilnya tersalurkan ketika menjejakkan kaki di Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, Halen pun menyadari bahwa Indonesia adalah negara berbahaya. Menjelajahi pulau-pulau di Indonesia, bukanlah perkara mudah. Perang gerilya dan serangan pemberontak terjadi nyaris tiap hari. Helen berbagi kisah, ketika itu polisi dan tentara sungguh memegang kontrol. Mereka harus selalu izin ketika sampai suatu wilayah. Tak hanya keadaan Indonesia yang masih ‘panas’, keterbatasan bahasa, dan perbedaan kebudayaan menjadi beberapa kendala lain. Ketika itu Helen dan sang suami tiba di Bali dan ternyata tempat itu tak mengizinkan keberadaan anjing bahkan Dinah—peliharaan mereka—terancam ditembak. Setelah melakukan berbagai perundingan, akhirnya Dinah pun tetap menemani pasangan ini.Kendala lain harus mereka hadapi ketika harus menunggu selama tiga minggu untuk mengurus birokrasi. Walau berbagai kesulitan dan kendala dihadapi, semua itu terbayar keindahan Indonesia dan keramahan penduduknya.Walau Perjalanan Mengarungi Lautan Masalah di Negeri Belia sudah terjadi lebih dari setengah abad lalu, kenangan akan tetap membekas di benak Helen.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kisah ini berdasarkan korespondensi surat elektronik dengan Helen Schreider melalui Anna Darrah—rekan dekat sekaligus bekerja sama dalam pembuatan dokumentasi kehidupan Helen.