Setiap ia berbicara, baik di atas panggung acara Apple maupun kesempatan lainnya, tatapan penonton seakan terhipnotis kepadanya.
Pembawaan kharismatik ini yang mengundang minat dua profesor asal Warwick Business School, Loizos Heracleous dan Laura Klaering, untuk belajar dari Steve Jobs tentang gaya retorika miliknya. Hasil riset mereka dilaporkan dalam bentuk makalah ilmiah bertajuk Charismatic Leadership and Rhetorical Competence: An Analysis of Steve Job's Rhetoric yang diumumkan kepada media pada akhir September lalu.
Menurut Heracleous dan Klaering, Steve Jobs adalah seseorang yang paham benar mengenai seni berbicara yang efektif dan persuasif. Ia tidak menganut satu pakem retorika tertentu, tapi lebih memilih untuk beradaptasi dengan tempat ia berbicara, situasi yang dialami, serta audiensi yang dihadapi. Namun, isi pesan yang ia sampaikan tetap sama di semua kondisi.
Heracleous berpendapat bahwa mantan CEO Apple ini menggunakan tiga pedoman retorika klasik yang diajarkan filsuf kuno Yunani, Aristoteles, yaitu:ethos, pathos, dan logos. Ethos menunjukkan kredibilitas seseorang, pathos melibatkan nilai-nilai dan emosi, sedangkan logos berkaitan dengan logika dan hal-hal yang bersifat statistis dan ilmiah.
“Riset kami menunjukkan betapa pentingnya bagi seorang pemimpin untuk menentukan dulu tema inti yang ingin disampaikan, setelah itu baru pikirkan cara untuk menyampaikannya di berbagai acara publik. Gunakan strategi kombinasi antara ethos, pathos, dan logos dengan tingkat dominasi yang berbeda-beda sesuai konteks,” jelas Heracleous.
Ia menyebutkan bahwa Jobs brilian dalam menentukan dosis yang tepat antara ethos, pathos, dan logos saat beretorika. Dalam tiga skenario yang diteliti, komposisi kombinasi di antara ketiga pedoman itu tidaklah sama.
Skenario tersebut adalah: saat Jobs membela perusahaannya dalam persidangan yang melibatkan tuntutan Komisi Saham dan Sekuritas AS terhadap Apple pada Maret 2008; saat Jobs dicecar dengan pertanyaan tentang pergantian supplier Apple dari IBM ke Intel dalam wawancara televisi di CNBC pada Juni 2005; dan saat Jobs mengikuti diskusi terbuka di panggung D8 AllThingsD Conference pada Juni 2010.
Heracleous lantas memaparkan, “Kami menemukan bahwa faktor pendorong dalam retorika Jobs adalah ethos-nya, yang sangat memengaruhi seberapa besar ia memakai logos dan pathos-nya. Ketika ethos (kredibilitasnya) rendah, Jobs akan meningkatkan pathos (mencoba mengambil simpati peserta sidang) dan menurunkan logos (argumen yang bersifat baku). Misalnya di dalam persidangan dengan Komisi Saham dan Sekuritas.”
“Berbeda dengan ketika Jobs tampil di konferensi digital, di tengah penonton yang mengaguminya. Ethos-nya tinggi, sehingga ia menurunkan level pathos-nya dan menggunakan logos yang lebih banyak,” lanjut sang profesor.
Di samping meramu dosis antara tiga pedoman Aristoteles itu, Jobs pun memanfaatkan strategi retorika seperti amplifikasi, repetisi, dan re-framing (membingkai ulang) topik diskusi supaya sesuai dengan pesan yang ingin ia sampaikan.
Dalam risetnya, Heracleous juga melihat bahwa Jobs enggan menggunakan bahasa-bahasa yang bersifat figuratif (mengawang-awang dan cenderung berlebihan) dalam berpidato. Ia lebih memilih menekankan pesannya dengan gaya bercerita dan memakai metafora. Pasalnya, cara seperti inilah yang akan lebih meninggalkan kesan di benak audiensi daripada hal-hal yang bersifat teknis dan berbau statistika.
Riset terhadap Steve Jobs ini menunjukkan bahwa kharisma bukanlah kualitas atau bakat bawaan, seperti anggapan banyak orang selama ini. Kharisma ternyata bisa dipandang sebagai konsekuensi dari hubungan antara seorang pemimpin/pembicara, audiensi (yang melihatnya), dan konteks (yang dialaminya).
“Setiap pemimpin dapat belajar dari Steve Jobs; memahami level ethos mereka di hadapan audiensi, lalu menentukan kombinasi yang tepat antara pathos dan logos dalam retorika mereka,” pungkas Heracleous.