Revolusi Payung Usai, Hong Kong Meredup?

By , Rabu, 8 Oktober 2014 | 11:40 WIB

Aksi unjuk rasa warga Hong Kong menuntut pemilihan umum bebas yang kemudian disebut sebagai Revolusi Payung memunculkan kekhawatiran bahwa Beijing akan bertindak tegas terhadap bekas koloni Inggris itu. Namun, sejumlah analis menilai, meski membangkang, Hong Kong masih menjadi "Angsa Emas" bagi Beijing sehingga sulit untuk diabaikan dan disisihkan walaupun Shanghai kini dipersiapkan menjadi ibu kota finansial Tiongkok. "Karena Hong kong kini membangkang terhadap pemerintah pusat di Beijing, maka Hong kong bisa dianggap sebagai rekan yang tak bisa diandalkan lagi," kata Francis Lun, seorang analis finansial dan CEO Geo Securities, Hong Kong. "Kondisi ini akan memuncak seiring dengan tren bahwa Shanghai suatu hari akan menggantikan Hong kong sebagai ibu kota finansial Tiongkok. Jika arus sudah berbalik maka situasinya akan sulit diubah dan ini bisa terjadi dalam waktu singkat," tambah Francis. Namun, sejumlah analis lain menilai dalam jangka pendek pemerintah Beijing belum akan "menyingkirkan" Hong Kong. Jika itu terjadi maka Beijing sama dengan melakukan bunuh diri karena selama ini pemerintah pusat selalu menekankan bahwa Hong Kong adalah bagian dari Tiongkok. Pakar ekonomi dari Capital Economist, Julian Evans-Pritchard mengatakan menghukum Hong kong secara ekonomi justru akan semakin mempersulit pemerintah Beijing. "Sangat jelas, Beijing tak suka dengan unjuk rasa ini, namun Beijing masih menggunakan Hong kong sebagai model reformasi ekonomi di Tiongkok daratan," ujar Julian. "Sehingga, saya pikir Beijing tidak akan menyingkirkan Hong Kong. Sangat bodoh jika hal itu dilakukan pemerintah," tambah Julian. Inggris mengembalikan Hong Kong ke pemerintah Tiongkok pada 1997. Sejak saat itu Hong Kong menjadi wilayah Tiongkok namun memiliki sistem pemerintahan dan hukum sendiri. Warga Hong Kong juga menikmati kebebasan dan hak-hak sipil yang tak diperoleh warga Tiongkok daratan. Meski demikian unjuk rasa yang terjadi sedikit banyak dipicu meningkatnya ketimpangan dan biaya hidup ditambah kemarahan warga terkait hubungan baik antara pemerintah kota dan para elite finansial yang memicu kekecewaan di kalangan pemuda. Persaingan dengan Shanghai Hong Kong tahun ini kembali dinobatkan sebagai wilayah dengan ekonomi paling bebas di dunia. Sebuah gelar yang sudah melekat dengan kota ini selama 20 tahun. Demikian menurut indeks kebebasan ekonomi yang dirilis Heritage Foundation dan Wall Street Journal setiap tahun. Ironisnya, Tiongkok yang menjadi induk Hong Kong saat ini hanya menempati peringkat ke-137 dalam indeks kebebasan ekonomi itu. Menurut para analis, sistem hukum Hong Kong yang transparan dan adil menjadi kunci hubungan antara Tiongkok dan komunitas finansial global.  Hong kong juga menjadi tujuan investasi utama para pengusaha Tiongkok. Menurut Kementerian Ekonomi dan Perdagangan Tiongkok, hampir 60 investasi Negeri Tirai Bambu ditujukan atau dikucurkan lewat Hong Kong. Di saat yang sama Beijing juga mencoba mempertahankan kendalinya atas sumber-sumber perekonomian. Sayangnya, lambannya reformasi di Zona Perdagangan Bebas (FTZ) Shanghai mengecewakan berbagai perusahaan asing. "Sangat jelas pemerintah Tiongkok ingin mengembangkan Shanghai. Namun, itu bukan berarti Beijing sudah siap untuk meninggalkan Hong Kong," kata pakar ekonomi senior ANZ, Raymond Yeung. Sehingga, Hong Kong tak perlu khawatir akan tenggelam dan kalah dari rivalnya di daratan Tiongkok, Shanghai dalam waktu dekat. Dinamika masih terus berubah hingga Hong kong secara penuh kembali ke dalam kendali Tiongkok pada 2047. Di saat itu, Hong Kong tetap memiliki sejumlah keuntungan misalnya penggunaan bahasa Inggris yang luas di kalangan warga. Namun, bila saatnya tiba Hong Kong juga akan kehilangan sesuatu, yaitu sistem hukum yang independen.