Balada Penopang Teluk Jakarta

By , Rabu, 8 Oktober 2014 | 14:40 WIB

Perairan begitu keruh. Anak Sungai Belacan yang tumpah di Laut Jawa ini masih dipagari vegetasi mangrove di sisi kanan dan kiri. Pepohonan nipah tumbuh rapat, membentuk kerumunan di sana-sini.

Sayangnya, deretan mangrove begitu tipis dan terputus-putus. Hilangnya hutan yang tumbuh di alam pasang-surut ini telah mengoyak banyak kehidupan.

Pada beberapa bagian pesisir di Desa Pantai Harapan Jaya, Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, air laut telah menggerus tanggul-tanggul tambak.

Era 1980-an, hutan mangrove menguasai kawasan di sisi utara Bekasi ini. Sebutan muara dicuplik dari nama kucing hutan, belacan, yang dulu banyak hidup di belantara pesisir. "Sekarang tak ada lagi belacan, sedikit dijumpai. Sekarang hanya menjadi mitos," jelas Ahmad Taufik, ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Kahuripan itu.

Seringai kucing hutan yang dulu membuat manusia berpikir dua kali untuk masuk hutan mangrove. Kawanan lutung yang dulu kerap menggerayangi mangrove kini telah menyingkir ke habitat yang tersisa. Polah monyet ekor panjang yang memancing kepiting dengan ekornya tak lagi terlihat. Burung-burung hanya terbang melintas, mencari makan di tempat lain.

Sejak 2002 babak kelam menghinggapi hutan mangrove Muara Gembong. Setelah masa Reformasi, berbagai isu berembus yang membuat orang-orang membabati mangrove.

Muara Belacan menatap wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang membayang samar di cakrawala barat daya. Garis pantai Muara Gembong menjadi batas sisi timur laut Teluk Jakarta yang berbentuk cekungan lebar.

Jakarta yang riuh mungkin tidak menyadari pasokan oksigen dari hutan mangrove Muara Gembong. Namun kota yang telah mengingkari jasa mangrove ini sekarang merasakan dampaknya.

Metropolitan ini diintai bencana dari dua arah: luapan Laut Jawa dan turunnya daratan. Membentang seluas 661 kilometer persegi, dengan beban berat di daratan, Jakarta menjadi salah satu kota tepi pantai di dunia yang rentan tenggelam. Muka air laut di Teluk Jakarta naik sekitar 0,5 sentimeter saban tahun.

Parahnya, permukaan tanah Jakarta juga ambles—rata-rata 10 sentimeter tiap tahun. Industri dan perkantoran yang menyedot air tanah kian memperparah turunnya daratan Jakarta.

Ruang dalam tanah yang semula berisi air kini berefek seperti pasir, dan tak mampu menanggung beban berat dari atas.

Pada saat yang sama, air laut dari Teluk Jakarta menyusup ke dalam tanah, membuat air tanah ibu kota menjadi payau. Tanpa deretan hutan mangrove, intrusi air laut ke tanah tak terelakkan.

Terkepung dari laut dan darat, Jakarta menjadi kaca benggala bagi wilayah pesisir Bekasi Utara yang hanya berjarak sejam dengan perahu 40 PK. Kendati berbeda wilayah administrasi, Teluk Jakarta dan sekitarnya sejatinyasaling menopang sebagai salah satu kesatuan ekosistem lahan basah.

Kisah selengkapnya dapat dibaca di Sisipan NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA Edisi Agustus 2014.