Mengembalikan Penyangga Jayapura

By , Jumat, 10 Oktober 2014 | 20:47 WIB

Dari atas Bukit Meribo dengan ketinggian sekitar 200 meter, mata disuguhi pesona pemandangan laut dihiasi pelabuhan Kota Jayapura beserta sejumlah gedung di pinggirannya. Tak salah kota tersebut dijuluki "Port Numbay" pada masa kolonial Belanda.

Di atas bukit itulah, akhir Agustus lalu, Freedy Wanda, koordinator kegiatan penanaman, bersama sejumlah rekan aktivis membawa ratusan kantong plastik yang berisi benih pohon.

Pembagian 700 benih pohon secara estafet ke dasar Bukit Meribo, dilakukan sekitar 80 aktivis pecinta lingkungan dari berbagai organisasi masyarakat.

Meribo adalah kawasan lahan sangat kritis akibat aksi pembalakan liar dan pembakaran hutan oleh sekelompok etnis warga tertentu yang tinggal di sekitar lokasi itu demi kepentingan ekonomi.

Meribo atau "Meirirebo" (demikian biasa disebut masyarakat adat) adalah salah satu kawasan hutan lindung yang berada di dalam area Cagar Alam Gunung Cycloop. Kawasan seluas 20 hektare berperan sebagai penyangga

Meribo juga merupakan sumber lima mata air ke sejumlah tempat di Distrik Jayapura Utara.

Berdasarkan hasil observasi Lembaga Konservasi Daerah Aliran Sungai dan Pesisir Papua, Bukit Meribo dikategorikan lahan sangat kritis. "Berdasarkan pengamatan saya beberapa minggu lalu, seluruh pohon itu habis ditebang oleh sekelompok masyarakat yang tinggal di sekitar Bukit Meribo," kata Ketua Lembaga Konservasi Daerah Aliran Sungai dan Pesisir Papua Yehuda Hamokwaron, Kamis (28/8).

Masalah pembalakan liar dan pembakaran hutan di kawasan Cagar Alam Gunung Cycloop dimulai sejak penerapan kebijakan otonomi khusus 2001. Pertumbuhan pesat Kota Jayapura memicu arus deras urbanisasi warga dari sejumlah kabupaten.

Sayangnya, masyarakat yang tidak memiliki sumber daya manusia memadai tersisihkan dari ketatnya persaingan ekonomi di ibu kota Provinsi Papua tersebut.

"Warga yang tersisihkan tidak memiliki pekerjaan dan rumah. Akhirnya mereka menempati kawasan hutan lindung di Jayapura. Mereka kemudian menebang dan membakar pohon untuk dijadikan arang. Arang itu dijual ke sejumlah rumah makan yang menyajikan kuliner ayam dan ikan di Kota Jayapura," papar Yehuda.

Dihantui banjir

Masyarakat Jayapura akan selalu dihantui musibah banjir dan longsor apabila pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya tak menghentikan aksi pembalakan hutan lindung. Sebab, pohon berdaya serap air tinggi kian berkurang.

"Perlu diingat bahwa dari Bukit Meribo, aliran air sangat deras karena hujan selama empat jam telah meluluhlantakkan Distrik Jayapura Utara pada 22 Februari lalu. Sembilan warga tewas tertimbun tanah longsor. Musibah ini adalah yang terbesar di Jayapura selama lima dekade terakhir. Apabila pemerintah masih menutup mata, musibah berikutnya yang berskala lebih besar akan menyusul," tutup Yehuda.