Pemerintah Diminta Transparan Soal Tanggul Laut

By , Kamis, 16 Oktober 2014 | 18:30 WIB

Pemerintah diminta terbuka kepada publik mengenai untung dan rugi proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall) di Teluk Jakarta.

Selain itu, masyarakat yang akan terdampak harus diajak bicara sejak awal agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Apalagi, dari kajian sejumlah ahli, persoalan lingkungan Jakarta, terutama terkait banjir, ternyata lebih bersifat sosial.

"Hingga kini, banyak ahli di Indonesia belum mendapat dokumen kajian rinci tentang perencanaan tanggul laut raksasa," kata Abdul Muhari, peneliti kelautan dan bencana dari International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), di Jakarta, Rabu (15/10). Kajian itu diperlukan ahli untuk turut mengawal proyek.

"Saya kira banyak ahli tidak mendapat informasi lengkap mengenai desain tanggul raksasa di Teluk Jakarta sehingga dikhawatirkan asumsi dalam model bisa jadi tidak merepresentasikan desain sebenarnya," katanya.

Peneliti pada Badan Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko berharap, jika ada kajian rinci, sebaiknya disosialisasikan kepada publik. Tujuannya, pihak yang kompeten bisa mengawal atau mengkritisinya. Widjo heran, proyek yang rencananya dimulai pada 2020 justru dipercepat tahun ini.

"Tim Belanda dan Indonesia sudah mengkaji proyek ini sejak lama dengan biaya jutaan euro. Mestinya dokumen detailnya ada dan harus dibuka kepada publik," tuturnya.

Kajian IRIDeS selama setahun terakhir, menunjukkan, banjir Jakarta lebih dominan karena faktor manusia dibandingkan alam. "Penanganan aspek sosial seharusnya lebih dikedepankan sebelum investasi sangat besar sektor fisik," ungkapnya.

Jika diintegrasikan dengan keseluruhan program dari hulu, seperti pembangunan waduk baru di Ciawi, revitalisasi waduk, sungai dan kanal, serta penataan ulang permukiman di sepanjang aliran sungai, kata Muhari, pembangunan tanggul raksasa adalah komplemen dari solusi terintegrasi dari hulu sampai hilir.

Kemarin, para nelayan dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia DKI Jakarta menolak pembangunan itu. Mereka khawatir kehilangan mata pencarian. "Setiap hari, 600 kapal dari 5.600 kapal nelayan di Jakarta hilir mudik di Teluk Jakarta," ucap Ketua HNSI Jakarta Yan Winata Sasmita.