Kedinginan, kelelahan dan buta karena salju, Yakov Megreli, seorang mahasiswa kedokteran, hanya punya waktu beberapa menit untuk membuat keputusan. Ia bisa saja menginap di pondok tempat minum teh dengan beberapa orang lainnya, atau nekat menembus badai bersama sekelompok besar pendaki menuju ke kota dipimpin oleh pemilik kedai teh yang berjanji membantu mereka agar aman jika mereka membayarnya masing-masing 1.000 rupee atau sekitar hampir 200 ribu rupiah.
Megreli, 24, tak bisa menjelaskan mengapa ia tinggal di pondok itu selasa malam. Tetapi mungkin karena itulah ia tetap hidup hingga hari Kamis. Dia dan sekitar belasan pendaki lainnya, kebanyakan anak muda asal Israel dan Jerman, merebah bertumpukan, berbagi kehangatan untuk mengusir hipotermia serta berusaha mengobrol agar tak tertidur.
Mereka hanya sebagian kecil dari sebuah kelompok. Sebagian besar dari kelompok mereka, sekitar 40-50 orang, memutuskan untuk pergi ke kota terdekat, Muktinath. “Dan saya tak tahu apa yang terjadi dengan mereka,” kata Megreli di sebuah rumah sakit di Kathmandu.
Badai mereda pada rabu, dan di kedai teh, sejumlah kecil orang yang selamat akhirnya berusaha untuk keluar melalui salju setinggi pinggang. Mereka melakukannya tanpa tahu apakah mereka bisa sampai ke kota. “Kami tak bisa melihat jalan, tidak tahu arah, dan malam itu masih turun salju,” ujar Maya Ora, 21, seorang pendaki Israel.
Akhirnya mereka harus berjalan selama delapan jam sebelum mendapatkan sinyal telepon genggam. Saat itu pula mereka melihat helikopter penyelamat. Sementara itu, puluhan orang lainnya belum ditemukan.