Fracking, Gantikan Batu Bara dengan Segala Risikonya

By , Minggu, 19 Oktober 2014 | 07:00 WIB

Sebuah ide untuk mengurangi dampak pemanasan global dengan mengubah penggunaan batubara dan minyak menjadi gas alam tampaknya bukan langkah tepat. Pasalnya, gas alam memproduksi energi yang lebih sedikit namun menghasilkan karbon dioksida lebih banyak. Guna menganggulangi masalah tersebut maka dikembangkanlah fracking yakni teknik perekahan dengan tekanan. Sebuah cara mengekstrak minyak yang sulit dijangkau dengan melakukan pengeboran secara horisontal. Studi mengatakan bahwa teknik fracking memang tidak membutuhkan biaya besar dan mampu menghasilkan gas alam melimpah. Namun studi itu pun menegaskan penggunaan teknik ini sangat merugikan lingkungan. Biaya murah dan hasil yang melimpah membuat manusia melupakan untuk pengembangan sumber daya non fosil seperti tenaga angin, matahari, maupun nuklir. “Kami melihat fracking tidak akan berdampak baik pada perubahan iklim jika tidak dibarengi dengan kebijakan,” kata Haewon McJeon, salah satu ilmuwan dari Departement of Energy’s Pacific Northwest National Laboratory sekaligus peneliti tentang fracking.

Sebenarnya peneliti berharap bahwa pengembangan gas alam mampu mengurangi penggunaan batu bara dan mengurangi emisi. Selain mengurangi emisi dapat pula mengurangi efek rumah kaca. Sayangnya dari ekonomi, ketika suatu barang berharga murah maka akan semakin banyak digunakan.

Bersamaan dengan proses pengeboran gas alam, produksi metana pun terjadi. Padahal metana lebih kuat dibandingkan karbon dioksida. Ketika metana terperangkap di atmosfer, justru memperlancar pemanasan global.

Studi terbaru sama sekali tidak menukung kebijakan fracking. Penelitian menyarankan agar penemuan energi yang dapat diperbarui lebih dikembangkan dan menjadi perhatian pemerintah.

Sementara John Weynant dari Stanford University berpendapat setidaknya gas alam mampu mengurangi penggunaan batu bara. “Gas begitu melimpah, jika diatur dengan kebijakan yang sesuai maka pemanfaatan dapat dilakukan,” ujarnya.

McJeon dan rekannya mengungkap bahwa studi mereka melihat adanya tren global untuk mengonsumsi gas alam dan emisi karbon alami. Penelitian yang dilakukan McJeon bertujuan menjawab pertanyaan tentang konsumsi energi dan emisi karbon di tahun 2050.