Tingkat kejahatan dunia maya di Indonesia saat ini mengkhawatirkan, menempatkan Indonesia sebagai urutan satu negara yang paling banyak mendapatkan serangan di dunia maya, menurut data yang muncul dalam acara Indonesia Cyber Crime Summit di Institut Teknologi Bandung (ITB) pekan lalu.
Dimitri Mahayana, direktur dari lembaga riset Telematika Sharing Vision yang melakukan penelitian pada 2013, mengatakan Indonesia bisa mendapat 42.000 serangan di dunia maya per hari. Hal ini cenderung dapat merongrong keamanan perusahaan dan negara.
Ia mengatakan data tersebut menunjukkan adanya kerentanan yang perlu diperbaiki, diantaranya melalui penegakan hukum, regulasi undang-undang, dan pembentukan badan khusus yang memantau pergerakan jalur Internet atau pasukan cyber.
"Jalur masuk Internet sebaiknya dibatasi, karena tanpa ada pembatasan jalur masuk sangat sulit untuk memonitor. Saya tidak yakin cyber crime di Indonesia atau cyber security akan meningkat kalau dia tidak dipimpin langsung oleh RI1. Dan hal ini juga dilakukan di Amerika," ujarnya.
Tenaga Ahli Bidang Iptek Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Kurdi Nantasyarah, mengatakan saat ini Indonesia hanya memiliki satu undang-undang yang mengatur tentang kejahatan dunia maya sehingga aturan tersebut perlu direvitalisasi.
Upaya lainnya yaitu dengan pembentukan badan khusus yang menangani kejahatan dunia maya karena kesadaran nasional terhadap kejahatan dunia maya ini masih sangat rendah.
"Di Amerika ada badan khusus, di Rusia, di Tiongkok juga, India pun punya badan khusus. Dan dari badan-badan khusus yang ada di negara itu maka kita pernah mendengar yang namanya Cyber Army. Dan badan-badan khusus itu letaknya di security institusi di sana," ujarnya.
(Baca: Tentara Bayaran Siber Muncul Karena Maraknya Aksi Spionase Digital)
Sementara itu, direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Kabareskrim Polri, Brigjen Polisi Kamil Razak mengungkapkan, pihak kepolisian selama ini masih mengalami kendala dalam mengungkap maupun menangkap pelaku kejahatan dunia maya.
Salah satunya yaitu keterbatasan jumlah personel kepolisian dan keterbatasan anggaran yang diberikan oleh negara untuk menangani kasus kejahatan dunia maya tersebut.
Menurut Kamil, perangkat hukum yang ada di Indonesia juga masih dirasakan menghambat jalannya pengungkapan kasus tersebut. Sehingga pihak kepolisian yang seharusnya dalam satu bulan bisa menangani 15 perkara kejahatan dunia maya, saat ini hanya bisa menangani satu perkara saja setiap bulannya, ujarnya.
"Salah satu contohnya kita akan melakukan penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan pada seorang pelaku cyber crime ini harus mendapat ijin terlebih dahulu pada Pengadilan Negeri melalui Kejaksaan. Hambatan dialami apabila kejahatan itu terjadi pada hari Sabtu dan Minggu. Tentunya rekan-rekan Kejaksaan dan Pengadilan itu tidak masuk kantor. Ini menyulitkan bagi kita," ujarnya.
Riset Sharing Vision terhadap 151 responden media sosial menunjukkan, kasus bertemu akun palsu sebanyak 22 persen, kata kunci diketahui orang lain 13,6 persen, dan pencurian akun sebanyak 9,9 persen.
Hal ini tergolong berbahaya, bahkan beberapa kasus di antaranya berujung pada kekerasan yang dilakukan anak di bawah umur, kejahatan seksual, dan kasus penculikan.