Singapura Tetap Sahkan Konstitusi Anti-Gay

By , Kamis, 30 Oktober 2014 | 10:18 WIB

Pengadilan tertinggi Singapura, Rabu (29/10), memutuskan undang-undang yang mengkriminalkan hubungan seksual antarpria, sejalan dengan konstitusi negeri tersebut.

Keputusan itu sekaligus menggugurkan dua gugatan terpisah yang diajukan tiga orang yang menganggap undang-undang itu melanggar hak asasi manusia. Gugatan terhadap undang-undang anti-gay diajukan seorang pemijat, Tan Eng Hong — serta pasangan gay, Lim Meng Suang dan Kenneth Chee Mun-leon.

Ketiga orang ini menggugat undang-undang yang menjatuhkan hukuman penjara hingga dua tahun untuk pria yang terlibat dalam "perbuatan tidak senonoh" di ruang publik ataupun ruang pribadi.

Dalam gugatannya, mereka mengatakan bahwa undang-undang tersebut melanggar persamaan hak serta kehidupan dan kebebasan personal di bawah undang-undang dasar Singapura. Klaim inilah yang ditolak pengadilan.

"Meski kami memahami perasaan personal para penggugat, tak ada yang bisa dilakukan oleh pengadilan ini untuk membantu mereka," demikian keputusan tertulis yang disampaikan hakim Andrew Phang, Belinda Ang, dan Woo Bih Li.

Pengadilan memutuskan undang-undang yang dikenal sebagai ayat 377A undang-undang pidana itu, dinyatakan tidak melanggar konstitusi, khususnya bagian soal kesetaraan hak.

Tan Eng Hong ditangkap karena melakukan oral seks dengan pria lain di sebuah toilet umum pada 2010. Tan dan rekannya itu awalnya didakwa menggunakan undang-undang 377A, tetapi kemudian diubah dengan menggunakan aturan lain. Sementara itu, penggugat lainnya, Lim dan Chee, sudah menjalin hubungan selama 15 tahun.

Keputusan pengadilan itu dianggap sebagai sebuah kemunduran bagi pelaksanaan HAM di Singapura. Demikian disampaikan M Ravi, seorang pengacara kasus HAM, yang mewakili Tan Eng Hong.

"Tampaknya, undang-undang yang absurd dan diskriminatif ini mengkriminalkan aspek dasar dari identitas pribadi seseorang, dalam hal ini pria homoseksual," ujar Ravi.

Ravi menambahkan, anehnya, undang-undang ini tidak berlaku untuk pasangan lesbian. "Perlakuan yang tak setara dalam undang-undang ini memang hanya didasari kebencian dan diskriminasi, bukan hal lain," tambah Ravi.