Tim Pakar Mengkaji Pabrik Nikel di Baluran

By , Jumat, 31 Oktober 2014 | 09:53 WIB

Seekor rusa jantan bersembunyi di semak kering. Merasa tak aman, dia berlari kencang ke wilayah Taman Nasional Baluran. Siang itu, sang rusa masuk ke kawasan bekas hak guna usaha (HGU) PT Baluran Kapuk Indah.

Pada tanah eks-HGU di Wonorejo, Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur, ini akan dibangun pabrik pengolahan nikel (smelter) oleh PT Situbondo Metallindo. Perusahaan ini menggandeng investor dari Cina dengan nilai investasi Rp 4 triliun.

Sekeliling lahan eks-HGU telah ditebangi untuk jalan inspeksi. Pada sisi yang berbatasan langsung dengan taman nasional, jalan selebar 12 meter itu memperlebar akses masuk ke taman nasional.Kendati berada di luar kawasan, dampak pembangunan smelter itu telah dirasakan oleh pengelola Taman Nasional Baluran. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, Supriyanto, menuturkan, pengelola harus kerja keras mengawasi batas taman nasional yang dekat dengan smelter.

Pada akhir pekan, warga dari desa terdekat yang berbatasan dengan Taman Nasional Baluran menghabiskan waktu menjala ikan di Bilik Sijile di bagian utara kawasan ini. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Lahan bakal pabrik nikel dikelilingi taman nasional di sisi barat, utara dan timur. Untuk mengangkut bahan mentah nikel dari Sulawesi, PT Situbondo Metallindo akan memakai kawasan Taman Nasional Baluran di sisi timur untuk jalan dan dermaga. Jalan angkutan itu sepanjang 660 meter, selebar 20 meter.

Untuk mengkaji permohonan itu, Kementerian Kehutanan mengirim tim pakar ke Baluran. Tim kajian ini berisi akademisi dan peneliti dari Kementerian Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Taman Nasional Baluran.

Tim telah mengundang PT Situbondo Metallindo dan investor untuk memaparkan rencana pabrik pengolahan nikel. Ketua tim kajian, Satyawan Pudyatmoko, meminta perusahaan untuk memberikan rencana detail, dokumen analisis dampak lingkungan, rencana tapak, dan komitmen tentang lingkungan.

Kawanan rusa liar berjalan di antara pohon akasia di Taman Nasional Baluran. Rencana pembangunan jalan untuk smelter nikel yang berbatasan langsung dengan taman nasional dikhawatirkan akan berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem di kawasan ini. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Semua dokumen itu, kata Satyawan, ditulis dan ditandatangani untuk menjamin komitmen perusahaan di masa datang. Berdasarkan dokumen itulah, tim akan menerbitkan rekomendasi atas permohonan pemakaian kawasan taman nasional untuk jalan. "Kami hanya memberi rekomendasi, namun izin tetap dari Kementerian Kehutanan," jelas Satyawan.

Sayangnya, dokumen dari perusahaan tak sesuai harapan. Misalnya saja, tidak ada rencana tapak, berapa angka pasti kebutuhan air untuk smelter, dan jaminan tidak akan menimbulkan dampak bagi satwa liar dan tumbuhan. "Kebutuhan air hanya lima persen sehari. Tapi lima persen dari berapa meter kubik?" ujar Satyawan.

Baluran dikenal sebagai daerah kering yang minim air. Di sisi timur eks-HGU yang berbatasan dengan taman nasional terdapat sumber air Sambikerep yang biasa digunakan oleh satwa liar. "Kalau mengambil air dari situ, pasti sumber airnya akan kering," lanjut Satyawan.

Begitu juga ihwal polusi lingkungan. Karena pabrik beroperasi 24 jam, tim juga menimbang dampak polusi smelter. "Kebisingan bisa mempengaruhi satwa liar dari sisi reproduksi," papar M. Bismark, seorang pakar satwa liar di tim kajian.

Tanpa adanya rencana detail perusahaan, tim belum bisa memberikan rekomendasi permohonan pemakaian sebagian kawasan Baluran. Tim hanya merekomendasikan permohonan belum dapat dipertimbangkan lebih lanjut, sampai data valid tersedia.

Yunaidi/National Geographic Traveler