Ketika Nasib Bumi Jadi Keputusan Politik

By , Senin, 10 November 2014 | 18:17 WIB

Dunia seperti kepingan puzzle ketika membahas penyebab dan dampak perubahan iklim. Namun, sebagai satuan utuh, dunia bersama merasakan dampak keanehan iklim dan berbagai bencana terkait iklim. Di tengah itu semua, Minggu (2/11) lalu, terbit laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim oleh lebih dari 50 penulis peneliti.

Ada beberapa poin penting pada laporan "Climate Change 2014 Synthesis Report" dari Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Kini, tingkat kepastian perubahan iklim disebabkan aktivitas manusia (antropogenik) menjadi 95 persen. Itulah poin penting yang digarisbawahi agar diperhatikan para pembuat keputusan politik di seluruh dunia.

Laporan juga menegaskan temuan beberapa tahun terakhir. Batas konsentrasi gas rumah kaca—yang didominasi gas CO2 (karbon dioksida)—yang melampaui 400 parts per million (ppm), serta keniscayaan bahwa kenaikan suhu rata-rata atmosfer bumi akan melampaui 2 derajat celsius pada akhir abad ini (tahun 2100). Jika batas itu terjadi, sistem iklim bumi tidak akan pulih seperti sebelumnya.

Kunci dari gangguan elemen-elemen dalam sistem iklim adalah bersifat ”umpan balik positif”. Satu unsur terganggu, itu memperkuat gangguan awal. Kuantitas atau kualitas atau keduanya (kuantitas dan kualitas) gangguan berpotensi meningkat secara eksponensial.

Pada laporan itu, IPCC mendasarkan pada riset dengan empat pemodelan iklim yang disetarakan dengan konsentrasi gas karbon, yaitu proyeksi iklim baru representative concentration pathways (RCP) mulai dari RCP2.6, RCP4.5, RCP6, RCP8.5 yang menggambarkan tingkat akumulasi emisi gas karbon dari terendah hingga tertinggi. RCP8.5 adalah yang terburuk— pertumbuhan populasi dan emisi terus, tetapi minim aksi menekan laju penumpukan gas GRK di atmosfer.

Laporan juga menyebut, perubahan suhu permukaan bumi global akhir abad (2081-2100) bakal melampaui 1,5 derajat celsius untuk RCP 4.5 dan RCP 6. Sementara itu, suhu rata-rata bisa meningkat melampaui 2 derajat celsius jika kondisi sesuai RCP6.0 dan RC8.5.

Akumulasi gas rumah kaca akibat polusi oleh asap industri yang terus meningkat, memicu tahun 2013 sebagai salah satu tahun terpanas dalam sejarah (AP, foto ilustrasi)

Laporan IPCC bukanlah vonis akhir perjalanan manusia atau ramalan pasti akan masa depan manusia. Keputusan politik para pemimpin negara di dunia memegang kunci kendaraan: ke mana manusia dengan kapal bernama bumi menuju. Berlabuh pada kesejahteraan atau kehancuran.

Para ilmuwan hanya bisa menunjukkan fakta dan kemungkinannya dengan berbagai pilihan yang bisa dijadikan fondasi keputusan politik.

Persoalannya, ”kaki” sejumlah negara telah terikat pada berbagai kepentingan. Kepentingan negara, kelompok (negara maju, negara berkembang, negara tertinggal, dan sebagainya sesuai ”urusan globalisasi”), atau bahkan terikat oleh ”kegaduhan politik” dalam negeri, seperti Amerika Serikat yang tak kunjung bisa berkomitmen pada Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Pada saat kongres tak setuju, Presiden Barack Obama tak bisa berbeda.

Dunia tak bisa lagi menunggu.

IPCC merekomendasikan dunia meninggalkan batubara sebagai sumber energi pada tahun 2100. Sebaliknya, meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 80 persen bauran dari 30 persen bauran kini.

Ironisnya, dua hari seusai peluncuran laporan IPCC itu, Perdana Menteri Australia Tony Abott menegaskan akan tetap menggunakan batubara. ”Bayangan masa depan yang tampak sekarang, batubara adalah landasan kemakmuran kami,” katanya. Batubara merupakan ekspor utama Australia.

IPCC menuliskan, emisi gas rumah kaca penyebab kenaikan suhu bumi adalah yang tertinggi selama 800.000 tahun ini. Dengan emisi sebesar ini, dunia sedang menuju kenaikan sedikitnya 4 derajat celsius pada tahun 2100 dibanding era pra-industri, sebelum 1850.

Akhir Oktober 2014, Uni Eropa menyatakan akan mengurangi emisinya hingga 40 persen dari emisi 1990 pada tahun 2030. Komitmen para pihak pada UNFCCC ditunggu pada pertemuan di Lima, Peru, 2014. Kesepakatan dijadwalkan ditandatangani tahun 2016 di Paris.

Menurut Michael Oppenheimer, Guru Besar Kebumian Universitas Princeton, AS, salah satu penulis laporan IPCC, dunia tak bisa lagi menunggu. ”Harus beraksi cepat menghindari lewatnya batas 2 derajat celsius. Dengan pertaruhan bumi kita, kita tak bisa bertumpu pada keberuntungan,” ujarnya.

Nasib Bumi dan seluruh isinya ada di tangan sekitar 190 kepala negara: bagian dari puzzle-puzzle kepentingan.